Jakarta (ANTARA) - Isu mengubah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi koperasi tiba-tiba menyeruak. Seperti jamur di musim hujan, ramai diberitakan. Tak kurang dari 100 media daring yang turut menyoroti.

Bermula dari diskusi dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh Tim Pemenangan Nasional Anies-Muhaimin (Timnas AMIN) di Rumah Perubahan, Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, pada 31 Januari 2024. Saat itu, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto menyampaikan idenya mengubah badan hukum BUMN dari perseroan menjadi koperasi.

Menurutnya, jika BUMN diubah menjadi koperasi manfaat BUMN dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Masyarakat, kata Suroto, juga mengontrol secara demokratis BUMN yang ada dengan sistem badan hukum koperasi.


Perbedaan

Secara manajemen, BUMN dan koperasi jelas punya perbedaan. Bagai timur dan barat. Hakikat manajemen koperasi berdasar pada falsafah dari, oleh, dan untuk anggota. Sementara perusahaan BUMN kita mengenal istilah "Two-Tier Board System", yang memisahkan pengelolaan operasional (management board) dan fungsi pengawasan (supervisory board).

Itulah mengapa dari sisi pengelolaan, BUMN dan koperasi sangat berbeda sekali. Jika koperasi memegang prinsip "one man one vote", dimana anggota koperasi memiliki hak suara yang sama, tanpa dibedakan modal saham.

Sebaliknya, BUMN atau persero punya prinsip "one share one vote". Pemegang modal terbesar memiliki hak suara yang juga besar.

Lalu dari sisi kepemilikan, BUMN jelas dimiliki negara, sementara koperasi dimiliki oleh beberapa anggota. Pun dari sisi aturan, keduanya memiliki "beleid" yang jauh berbeda.

Kita tahu ada undang-undang tentang BUMN dan ada pula undang-undang yang mengatur tentang koperasi. Dari aturan tersebut kita bisa melihat perbedaan mencolok dalam pembentukan dan proses bisnisnya.

Jika dipaksakan menjadi koperasi, perusahaan-perusahaan BUMN akan membingungkan. Mandiri, misalnya, yang lebih dari 50 persen milik pemerintah, sehingga menjadi tabrakan jika dipaksakan.

Wajar pula jika reaksi Menteri BUMN Erick Thohir cukup keras terhadap usulan ini. Karena banyak dampak yang terjadi jika BUMN diganti dengan koperasi. Dampaknya, salah satunya, akan ada 1,6 juta pegawai BUMN yang menganggur, seperti disinggung Erick Thohir.

Lagi-lagi usulan tersebut menjadi sangat tidak realistis.


Berakhirnya penjajahan

Selain adanya perbedaan yang tajam tersebut, usulan soal perubahan badan hukum BUMN menjadi koperasi juga bakal menghapus jejak sejarah BUMN. Cikal bakal BUMN dimulai dari upaya menasionalisasi ratusan perusahaan milik Belanda. Tepatnya di masa Orde Lama tahun 1957, saat kondisi perekonomian Indonesia masih belum stabil. Saat Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja meminta bantuan Kolonel Soeprayogi menangani perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi.

Artinya perlu diingat, jika nasionalisasi atau peralihan perusahaan-perusahaan Belanda ini merupakan penanda, jika era kolonialisme, penjajahan negeri asing berakhir di Tanah Air.

Kisah perjuangan tentang pendirian perusahaan BUMN tak berhenti di situ. Masih ada sekarung kisah, seperti cerita tentang para perintis dan orang-orang Ogan menelusuri sungai dan masuk ke hutan-hutan belantara untuk menemukan deposit bahan baku semen dan mendirikan pabrik semen di Baturaja, Ogan Komering Ulu, niscaya hilang ditelan Bumi.

Bisa dibayangkan, betapa sulitnya menjangkau daerah tersebut di tahun 1974, saat sarana dan prasarana masih sangat terbatas. Selain menggunakan perahu dan melewati sungai, jalan satu-satunya menuju Baturaja adalah kereta uap peninggalan Belanda. Sementara penginapan di Baturaja, satu-satunya adalah milik Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu.


Salah kaprah

Perubahan adalah sesuatu yang konstan dalam hidup. Tak peduli seberapa keras kita mencoba untuk menjaga segalanya tetap stabil atau tak berubah. Perubahan tetap akan terjadi. Ini adalah hukum alam yang paling asasi.

Kita hidup dalam dunia yang selalu bergerak, berubah, dan berkembang. Menerima bahwa perubahan adalah keniscayaan merupakan langkah penting dalam proses pertumbuhan dan adaptasi.

Seperti kulit kita yang sabar menanti dan menjalani siklus perubahan. Pada bayi, siklusnya berjalan selama 14 hari, pada remaja 28 hari, dewasa berjalan 28 hingga 42 hari. Sementara bagi orang dengan usia 50 tahun ke atas, prosesnya berlangsung lebih lama, bisa sampai 100 hari.

Dahsyatnya perubahan dalam jaringan kulit kita ternyata melibatkan jutaan, bahkan miliaran sel. Tergantung faktor usia, jenis kulit, dan bagian tubuh yang dimaksud.

Saat kita memahami bahwa perubahan adalah bagian alami dari kehidupan, kita dapat belajar untuk lebih fleksibel, terbuka terhadap pengalaman baru, dan siap untuk menghadapi tantangan yang muncul.

Bagi banyak orang, perubahan dapat menjadi momen untuk pertumbuhan, inovasi, dan transformasi positif. Di lain pihak, perubahan justru menimbulkan ketidaknyamanan atau kecemasan.

Seperti dalam ide perubahan BUMN menjadi koperasi. Ide ini lahir dari perspektif perubahan yang asal-asalan, dipaksakan dan tidak alamiah.

Padahal mestinya, dengan sikap yang tepat, kita dapat memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk belajar, berkembang, dan mencapai potensi kita yang sebenarnya.

Perlu diingat, bahwa perubahan tidak selalu mudah. Karena itu langkah pertama yang penting adalah mengakui dan menerima bahwa perubahan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan menuju keseimbangan dan kedamaian dalam menghadapinya. Perubahan tidak harus diametral, tapi bisa juga paralel. Jadi, bukan asal beda.


*) Muhammad Muchlas Rowi adalah pegiat literasi media dan dosen Institut Bisnis Muhammadiyah (IBM) Bekasi

Copyright © ANTARA 2024