Beijing (ANTARA) - Pemerintah China membantah memberi dukungan terhadap tindakan mata-mata dari aktor non-negara asal Tiongkok ke jaringan komputer Kementerian Pertahanan Belanda.
"Kami menentang segala fitnah dan tuduhan yang tidak berdasar terhadap China. Faktanya, China adalah korban utama serangan siber," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Rabu (7/2).
Menteri Pertahanan Belanda Kajsa Ollongren pada Selasa (6/2) mengatakan mata-mata yang berasal dari aktor non-negara namun didukung pemerintah China mengakses jaringan militer Belanda tahun lalu melalui perangkat lunak perusahaan Fortinet.
"Kami tegas terhadap segala bentuk serangan dunia maya dan menggunakan metode yang legal dalam mengatasinya. China tidak mendorong, mendukung, atau memaafkan serangan yang dilakukan oleh peretas," tambah Wang Wenbin.
Menurut Wang Wenbin, menjaga keamanan dunia maya adalah tantangan global.
"Seperti isu-isu lainnya, tuduhan palsu atau konfrontasi blok hanya akan merusak respons kolektif terhadap ancaman yang dihadapi dunia terhadap keamanan siber. Kami berharap pihak-pihak terkait mengambil sikap konstruktif dan bertanggung jawab serta bekerja sama dengan China untuk melindungi keamanan siber," tambah Wang Wenbin.
Namun Wang Wenbin tidak menjelaskan apakah pemerintah China punya kaitan dengan perusahaan Fortinet atau tidak.
"Saya telah menjelaskan bahwa kami menentang tuduhan dan pencemaran nama baik yang tidak berdasar terhadap China. Hal ini tidak membantu komunitas internasional untuk bersatu melawan ancaman keamanan siber," jawab Wang saat ditanya kaitan pemerintah China dengan Fortinet.
Lebih lanjut Wang Wenbin menyebut Amerika Serikat (AS) menggunakan supremasi dan dominasinya untuk bertindak tanpa tanggung jawab di dunia maya sehingga membahayakan peraturan dan ketertiban internasional, membahayakan perdamaian dan keamanan dan merugikan kepentingan keamanan dan pembangunan China dan negara-negara lain.
"Dengan kendali yang tak tertandingi atas sumber daya internet global yang sangat penting, pemerintah AS diketahui telah memutuskan sambungan internet negara-negara lain sehingga menyebabkan kerusakan parah terhadap stabilitas sosial dan keamanan ekonomi negara tersebut," ungkap Wang Wenbin.
Pemerintah AS disebut menggunakan dominasinya atas sistem operasi global dan layanan internet untuk melakukan pengawasan dan pencurian data secara besar-besaran dan tanpa pandang bulu, sehingga melanggar hak privasi warga negara di banyak negara.
"Pemerintah AS telah membangun persenjataan siber dalam jumlah besar, dan mengembangkan serta menyebarkan senjata canggih yang digunakan untuk menyerang infrastruktur utama asing, sehingga menjadikan infrastruktur utama global berada pada risiko yang besar," tambah Wang Wenbin.
Selanjutnya Wang Wenbin mengatakan pemerintah AS secara terang-terangan mendukung organisasi serangan siber untuk melakukan serangan siber jangka panjang dan terus menerus terhadap lembaga pemerintah, organisasi penting, dan infrastruktur penting di banyak negara di dunia, termasuk sekutu AS.
"Tanpa berlebihan, AS adalah sumber risiko dan tantangan dunia maya nomor satu. Tidak ada negara di dunia yang dapat mengisolasi diri dari ancaman serangan siber AS. Dunia maya tidak seharusnya menjadi medan pertempuran," ungkap Wang Wenbin.
Dunia siber, ungkap Wang Wenbin, bukan wilayah abu-abu bagi AS untuk melampaui aturan dan bertindak sembarangan tanpa konsekuensi apa pun.
"Dan hal ini tidak seharusnya menjadi alat AS untuk menghambat pembangunan negara lain dan mengganggu perdamaian dunia. Kami mendesak AS untuk segera menghentikan perilakunya yang berbahaya dan tidak bertanggung jawab, dan bergabung dalam upaya kolektif komunitas internasional menuju dunia maya yang menampilkan perdamaian, keamanan, keterbukaan, dan kerja sama," tegas Wang Wenbin.
Baca juga: China bantah tudingan AS soal serangan siber
Baca juga: Informasi rahasia diplomatik Jepang bocor setelah serangan siber China
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2024