New York (ANTARA News) - Bagi kebanyakan warga kota New York, pembuatan film tragedi 11 September terlalu cepat. Bagi beberapa lainnya gagasan mengangkat tragedi itu melalui kacamata Oliver Stone dalam filmn barunya, "World Trade Center", terlalu traumatis untuk dikenang. "Saya kurang tertarik. Menurut hemat saya film itu mengerikan. Gagasan membuat film 11/9 mengganggu pikiran saya," kata Jessica Amato mengenai suasana hati para warga New York tentang proyek baru Stone itu, yang akan dirilis secara nasional pada 9 Agustus. Amato bekerja di Wall Street pada Goldman Sachs ketika pesawat pertama dan kemudian pesawat satunya lagi menghantam menara kembar World Trade Center, yang akhirnya meruntuhkan gedung penanda kota itu menjadi tumpukan puing yang mengerikan pada 2001. "Cukup sekali saja menyaksikan kejadian itu sebagai penduduk New York. Saya kira saya tak ingin membayar untuk melihatnya kembali di layar lebar," ujar Amato. Bagi saya, itu lokasi itu keramat, makam dan hendaknya dibiarkan seperti itu." Film tersebut, yang dilhami oleh kisah sebenarnya dari dua polisi yang secara ajaib diselamatkan dari reruntuhan, menyulut perdebatan panjang dan hangat sebelum dirilis. Mary Schneidman, seorang ibu yang tinggal di salah satu kawasan elit di pinggiran New York, mengemukakan dirinya percaya Stone telah melakukan pekerjaan mulia. "Saya sangat tertarik. Saya suka Oliver Stone. Ia selalu menggarap isu-isu menarik dalam film-filamnya," kata Schneidman, seperti dikutip AFP. Premier gaya Hollywood Penayangan film itu untuk kalangan terbatas berlangsung pada Kamis malam, dengan hamparan karpet merah gaya Hollywood untuk menyambut para selebriti, seperti penyanyi Sting, namun juga dihadiri tokoh-tokoh penting dalam tragedi itu, seperti mantan Walikota Rudy Giulani. Sejumlah keluarga korban juga hadir dalam penayangan itu. Di antara mereka adalah Mary Fetchet, yang kehilangan seorang putranya pada hari itu dan direktur pendiri Voices of September 11, sebuah kelompok advokasi nirlaba yang memberikan dukungan bagi orang yang terkena dampak kejadian itu. "Saya kira film ini penting sekali, peristiwa harus didokumentasikan," katanya. Namun dia sepakat, beberapa orang akan menentang pendapatnya. Carry Lemack, yang kehilangan ibunya dalam serangan pesawat pertama dan kemudian membentuk "Families of September 11, sebuah kelompok pendukung korban, menyatakan dirinya mulai menghindari gedung bioskop bila tayangan perkenalan film itu diputar pada Mei lalu. "Saya tak ingin menyaksikan pembunuh ibu, saya tak tahu mengapa saya harus mengalaminya setiap kali saya menyaksikan sebuah film." Situs Internet organisasinya sengaja mencadangkan halaman pertamanya untuk berdiskusi soal apakah mereka yang terkena akibat tragedi itu sebaiknya menonton. "Jawabya sangat pribadi," kata Families of September 11. Kritikus sambut positif Stone sendiri sebegitu jauh memperoleh tanggapan yang umumnya positif dari para kritikus, termasuk majalah New Yorker, dan ia menegaskan lagi pada pekan lalu bahwa dirinya merasa yakin film itu akan mengabadikan kenangan atas kejadian itu bagi generasi mendatang. "Kejadian itu perlu sekali dikenang. Orang sudah melupakannya. Anak-anak sebaiknya tahu," kata sang sutradara. Stone menjanjikan sebagian pemasukan dari film itu akan diberikan kepada beberapa asosiasi korban. Namun begitu, beberapa bulan sesudah penayangan film yang cukup laris, "United 93", yakni kisah tentang pesawat bajakan yang diambilalih dan dijatuhkan para penumpang yang kehilangan seluruh jiwa mereka, beberapa penduduk New York merasa skeptis film tersebut bakal menuai sukses. (*)
Copyright © ANTARA 2006