Bangui, Republik Afrika Tengah (ANTARA News) - Hampir 100 orang tewas pekan ini dalam bentrokan dua hari antara pasukan presiden baru Republik Afrika Tengah dan mereka yang setia pada pemimpin terguling Francois Bozize, kata kantor presiden, Rabu.

"Kami yakin jumlah korban tewas saat ini hampir 100 orang dan sekitar 50 cedera" setelah bentrokan di daerah-daerah barat Bossangoa dan Bouca pada Minggu dan Senin, kata juru bicara presiden Guy-Simplice Kodegue di radio nasional, lapor AFP.

Menurut Kodegue, jumlah kematian masih bisa naik dan ia memuji kelompok-kelompok bantuan internasional karena merawat korban-korban yang terluka.

Bentrokan meletus Minggu di dekat Bossangoa, sekitar 250 kilometer sebelah utara Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah, yang merupakan daerah kampung halaman Bozize.

Bozize memerintah negara Afrika itu selama 10 tahun sampai ia digulingkan pada 24 Maret oleh koalisi pemberontak Seleka yang dipimpin presiden saat ini, Michel Djotodia.

Jumlah korban baru itu diumumkan setelah organisasi bantuan Dokter Lintas Batas (MSF) mengatakan bahwa kelompok-kelompok yang bersaing kubu Bozize dan Djotodia melakukan kekejaman terhadap warga sipil dalam gelombang baru bentrokan yang melanda daerah itu.

MSF mengatakan, kelompok-kelompok itu membunuh sejumlah orang, melakukan eksekusi tanpa persidangan dan membakar rumah-rumah warga selama kekerasan Senin di desa Bouca.

Tidak ada laporan mengenai bentrokan baru pada Rabu di daerah itu, dan menurut sejumlah sumber militer, pendukung Bozize telah menguasai beberapa desa.

Koalisi pemberontak Seleka merebut kekuasaan di Republik Afrika Tengah dalam kudeta yang menggulingkan Presiden Francois Bozize setelah perjanjian perdamaian gagal.

Seleka, yang berarti "aliansi", menandatangani sebuah pakta perdamaian pada 11 Januari dengan pemerintah Presiden Francois Bozize di ibu kota Gabon, Libreville.

Perjanjian yang ditengahi oleh para pemimpin regional itu menetapkan pemerintah baru persatuan nasional, yang telah dibentuk dan dipimpin oleh seorang anggota oposisi, Nicolas Tiangaye, dan mencakup anggota-anggota Seleka.

Perjanjian itu mengakhiri ofensif sebulan Seleka yang dengan cepat menguasai wilayah utara dan berhenti antara lain berkat intervensi militer Chad sebelum pemberontak itu menyerbu Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah.

Seleka, sebuah aliansi dari tiga kelompok bersenjata, memulai aksi bersenjata mereka pada 10 Desember dan menuduh Presiden Francois Bozize tidak menghormati sebuah perjanjian 2007 yang menetapkan bahwa anggota-anggota yang meletakkan senjata mereka akan dibayar.



Penerjemah: Memet Suratmadi

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013