Ankara (ANTARA) - Hampir satu tahun yang lalu, dua gempa bumi dahsyat menghantam Turki selatan yang merenggut nyawa lebih dari 53.000 orang dan menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Gempa pertama bermagnitudo 7,7, gempa mengguncang 11 provinsi di Turki dan Suriah utara pada 6 Februari 2023 dini hari waktu setempat. Disusul kemudian, gempa kedua bermagnitudo 7,6 menghantam wilayah yang sama, hingga memperparah kerusakan pada puluhan ribu bangunan dan infrastruktur.

Turki memperingati tragedi tersebut saat sejumlah ahli mengatakan bahwa peristiwa seismik yang lebih menghancurkan tidak dapat dihindari di wilayah yang memiliki garis patahan aktif.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, pada bulan lalu, memperingatkan bahwa 66 persen wilayah negara tersebut dan 71 persen populasinya terpapar risiko gempa bumi.

"Bersiap menghadapi gempa bumi lebih merupakan sebuah keharusan alih-alih pilihan bagi kita. Karena secara geografis, kita merupakan negara yang hidup berhadapan langsung dengan gempa bumi," ujar Erdogan di Istanbul.

Setiap hari, getaran seismik ringan tercatat di berbagai wilayah di Turki, yang penduduknya sangat sensitif terhadap berita mengenai gempa bumi yang disampaikan oleh media.

Profesor ilmu manajemen bencana Mihat Kadioglu pun mengatakan dalam sebuah wawancara dengan media lokal NTV bahwa negara tersebut membutuhkan pendekatan yang komprehensif terhadap gempa bumi, bukan metode yang reaktif dan berorientasi pada bantuan ketika gempa terjadi.

Menteri Dalam Negeri Turki Ali Yerlikaya pada Jumat (2/2) pekan lalu merevisi jumlah korban tewas akibat gempa bumi yang tadinya 53.000 orang, bertambah menjadi 53.537 orang. Catatan ini menjadikan dua gempa tersebut jadi bencana paling mematikan dalam sejarah Turki modern.

Aktivitas seismik berasal dari Patahan Anatolia Timur, patahan sepanjang hampir 1.000 kilometer yang membentang secara diagonal di bagian tenggara negara tersebut.

Istanbul terletak di Patahan Anatolia Utara di antara dua lempeng tektonik yang menghadapi risiko yang lebih tinggi akan bencana gempa. Para ahli seismologi memperingatkan bahwa gempa dahsyat di kota itu sudah "dekat waktunya" setelah gempa bumi yang merenggut hampir 20.000 nyawa di Turki barat laut pada 1999.

Sebuah kendaraan teknik sedang mengerjakan reruntuhan di Antakya, Turki pada 18 Januari 2024. Turki dilanda gempa bumi dahsyat pada awal Februari tahun lalu, dan Antakya kini sedang dalam tahap rekonstruksi. (Xinhua/Li Zhenbei)
   

Direktur Bank Dunia untuk Turki Humberto Lopez mengatakan pada November tahun lalu bahwa biaya yang dibutuhkan untuk menjadikan perumahan di Turki aman dari gempa bumi di masa depan diperkirakan mencapai 500 miliar dolar AS.

"Gempa bumi yang diperkirakan terjadi di Istanbul akan bermagnitudo antara 7,2 dan 7,6. Jika gempa ini terjadi, maka akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan gempa pada Februari tahun lalu," ungkap Naci Gorur, seorang ahli geologi yang berbasis di Istanbul, di platform media sosialnya, X.

Gorur menambahkan bahwa mustahil menghentikan gempa bumi, tetapi membangun gedung-gedung yang tidak runtuh dan menewaskan penghuninya dalam skala besar adalah hal yang mungkin.


Pewarta: Xinhua
Editor: Ade irma Junida
Copyright © ANTARA 2024