Bermodalkan kamera pinjaman, ia menjepret berbagai objek bangunan dan tempat bersejarah sekitar Kota Banda Aceh pada 1960. Hasil jepretan tersebut menarik minat banyak pihak untuk dijadikan dokumen sejarah.
"Setelah itu, saya terus tertarik dengan dunia fotografi. Sekitar 1967, saya memperoleh kamera sendiri yang dibeli orangtua dari Makkah. Sejak itu, saya terus memotret berbagai objek penting perjalanan sejarah Aceh," ujar dia.
Harun Keuchik Leumiek berkeinginan agar karya jurnalistik foto dapat "dinikmati" masyarakat luas, salah satu foto karya jurnalistiknya dimuat di surat kabar lokal "Mimbar Swadaya" pada 1970.
"Sejak itu, saya mendapat kartu pers dan merupakan awal menjadi wartawan di Aceh," tuturnya pria yang kini juga tercatat sebagai salah kolektor barang peninggal sejarah dan budaya di Aceh.
Harun Keuchik Leumiek yang juga pengurus Majelis Adat Aceh (MAA) itu menjadi wartawan harian Mimbar Umum terbitan Medan pada 1972. Setelah dua tahun, ia dipinang menjadi jurnalis di SKH Analisa Medan sampai saat ini.
Menurut dia, Aceh cukup banyak objek peninggalan sejarah dan budaya yang perlu mendapat perhatian para jurnalis muda untuk dipublikasinya ke sentaro dunia melalui media cetak, oneline dan audio visual.
"Saya yakin melalui kreativitas jurnalistik, khususnya foto maka berbagai potensi wisata di Aceh akan diketahui banyak orang dunia, sehingga menarik minat mereka datang ke daerah ini," jelasnya.
Oleh karenanya, karya-karya jurnalistik foto sangat penting sebagai media promosi daerah ke berbagai kalangan masyarakat nasional dan internasional. Kamera pinjaman bukan kendala meraih sukses, yang penting punya semangat bekarya, katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009