Pasarnya `overactive` mendengar cadangan devisa kita turun tajam, inflasi naik, defisit neraca transaksi berjalan naik mereka panik."

Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Standard Chartered Bank Eric Sugandi memperkirakan nilai tukar rupiah berpotensi mencapai Rp12.000 per dolar AS hingga kuartal ketiga 2013.

"Potensi melemah masih ada sampai Rp12.000 per dolar AS sampai kuartal ketiga karena kita masih mengukur daya saing mata uang kita dengan mata uang negara lain," katanya usai diskusi yang bertajuk "Indonesia-A primer on the Balance of Payments" di Jakarta, Selasa.

Menurut Eric, pelemahan rupiah tersebut masih dipicu fundamental perekonomian di dalam negeri, bukan hanya faktor global.

"Memang secara fundamental, rupiah memang sedikit `overvalued` (terlalu tinggi), perlu ada koreksi pelemahan ini," katanya.

Namun, dia berpendapat jika faktornya hanya fundamental perekonomian, pelemahannya tidak akan tinggi.

"Kalau hanya mengandalkan faktor fundamental, seharusnya `merosotnya` tidak tajam, berarti ada faktor sentimen," katanya.

Faktor sentimen tersebut, lanjut Eric, didorong juga faktor psikologis, yakni respon pasar yang cenderung panik.

"Pasarnya `overactive` mendengar cadangan devisa kita turun tajam, inflasi naik, defisit neraca transaksi berjalan naik mereka panik," katanya.

Dia juga mengatakan pelemahan rupiah tersebut dimanfaatkan oleh spekulan.

"Pasti ada semacam spekulan, tapi secara statistik susah untuk dilacak. Tetapi kalau dia tidak hati-hati dalam `menggoyang` pasar dan salah, dia juga akan rugi," katanya.

Eric berpendapat kondisi tersebut bisa diselamatkan dengan menaikkan kembali suku bunga acuan (BI rate) sebesar 50 basis poin menjadi 7.5 persen.

Namun, dia juga mengakui bahwa kenaikkan suku bunga tersebut akan berdampak terhadap semua sektor, terutama perbankan.

Dia juga mengatakan dampak kenaikkan BI rate tersebut akan berpengaruh terhadap menurunya investasi dan konsumsi rumah tangga.

Namun, sebelumnya Sekretaris Komite Ekonomi Nasional Aviliani mengatakan kebijakan moneter seperti menaikkan BI Rate belum diperlukan untuk mengendalikan inflasi.

"Kita lihat negara lain `toh` tidak lebih baik dari kita, mereka tidak menaikkan suku bunga, artinya sebenarnya kondisi seperti ini dilihat setiap tiga empat bulan di Indonesia. Di negara lain juga terjadi krisis kecil tapi masih bisa dilewati," katanya. (J010)

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013