Perdebatan kita masih terbatas pada kemampuan produksi domestik musiman dan kemampuan Bulog membeli gabah hasil produksi
Kupang (ANTARA News) - Kebijakan logistik pangan nasional masih berdimensi jangka pendek dengan penanganan yang bersifat sementara (ad hoc), kata akademisi Universitas Nusa Cendana, Fredrik Benu.
"Kita harus memberikan kritik terhadap kebijakan logistik pangan nasional mengingat sejumlah negara di dunia sudah memiliki strategi stok pangan berjangka panjang," kata Prof. Fredrik Benu, di Kupang, Selasa.
Ia mengemukakan pandangan itu menjawab pertanyaan seputar pembangunan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim gobal pada peluncuran dan bedah buku "Revisitasi Lahan Kering" yang ditulis oleh Fredrik Benu dan I Wayan Mudita.
Menurut dia, sejumlah negara di dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China, sudah memiliki strategi cadangan stok pangan berjangka panjang (15--20 tahun) sebagai bagian dari strategi menghadapi perubahan iklim global, sementara Indonesia masih berkutat dengan persoalan stok pangan musiman.
Fredrik menegaskan, "Perdebatan kita masih terbatas pada kemampuan produksi domestik musiman dan kemampuan Bulog membeli gabah hasil produksi, serta volume impor pangan tahun berjalan. Itu pun lebih banyak dalam urusan soal pangan pokok beras."
"Kita masih berada pada ruang antisipasi cadangan stok pangan nasional sekitar 1,5 juta ton yang hanya mampu bertahan untuk antisipasi pasokan pangan nasional sekitar 8--10 bulan," katanya.
Menurut dia, cara pandang seperti ini jelas tidak cukup strategis menghadapi gangguan produksi pangan domestik yang sering mendapat tekanan oleh faktor bencana alam.
Ia berpendapat bahwa keterbatasan kemampuan pengadaan stok pangan berjangka panjang itu terkait dengan kapasitas Perum Bulog.
Salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat adalah kebijakan yang tepat dari sisi logistik dan distribusi pangan, katanya.
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013