Permasalahan tidak merata itu sarana dan prasarana terbatas, keterbatasan alat kesehatan dan obat, insentif dan jenjang karier.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mohammad Adib Khumaidi menyatakan dari total 226.190 dokter yang ada di Indonesia, 160 ribu di antaranya masih berada di wilayah waktu Indonesia bagian barat (WIB).
"Permasalahan utama kita itu, apakah mereka (dokter) sudah tersebar ke wilayah yang sama? Ini bisa dilihat data di konsil kedokteran, 160 ribu masih berada di wilayah waktu Indonesia barat (WIB) dari total 226," kata Adib dalam konferensi pers yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Pernyataan tersebut disampaikan Adib menanggapi debat calon presiden (capres) yang berlangsung kemarin, Ahad (4/1) dan membahas tema seputar kesehatan.
Menurut Adib, perlu ada pemetaan berbasis wilayah untuk distribusi dokter yang lebih merata di Indonesia.
Baca juga: Udinus buka Fakultas Kedokteran untuk penuhi kebutuhan dokter
Baca juga: President University dapat izin mendirikan fakultas kedokteran
"Kalau bicara permasalahan dokter di Indonesia, tidak hanya dari aspek produksi, tetapi juga perencanaan kebutuhan, utamanya pemetaan berdasarkan permasalahan kesehatan di masing-masing wilayah," ujar dia.
Ia memaparkan, jumlah penduduk Indonesia dengan perbedaan geografis secara nasional saat ini ada sekitar 275 juta, apabila dihitung berdasarkan estimasi menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dimana satu dokter melayani 1.000 orang, maka Indonesia butuh 275 ribu dokter.
"Jumlah dokter saat ini dari konsil kedokteran yang sudah terdaftar, dokter umum ada 173.247, dokter spesialis ada 52.843, sehingga total dokter di Indonesia ada 226.190 yang sudah terdaftar di konsil kedokteran," ucap Adib.
"Apabila produksi dokter umum per tahun ada 12.000 dari 107 fakultas kedokteran (FK) yang ada di Indonesia, dengan asumsi jumlah mahasiswa per FK ada 50-100 mahasiswa, kalau 275 ribu yang dibutuhkan, maka saat ini tambahan yang kita butuhkan sekitar 60 ribu, dan dalam lima tahun lagi, kita pasti bisa memenuhi kebutuhan tersebut," imbuhnya.
Ia menekankan, yang masih menjadi dilema saat ini adalah penghitungan kebutuhan dokter yang masih belum berbasis wilayah.
"Kalau tidak tepat menghitung kebutuhan dokter, maka akan muncul suplai dokter yang berlebih, apabila jumlah dokter yang banyak itu terkonsentrasi dan bisa ditempatkan merata di seluruh Indonesia, tidak menjadi masalah, tetapi kalau hanya terpusat di beberapa wilayah, akan menjadi masalah, karena potensi konflik sipil, hukum, dan etik bisa muncul di masyarakat, lalu kesejahteraan dokter bisa turun," tuturnya.
Ia mengemukakan, permasalahan utama di Indonesia yakni distribusi dokter yang tidak merata, bukan produksinya, sehingga perlu ada penataan persebaran dokter, melalui pembiayaan pendidikan dokter yang dikelola pemerintah dengan benar.
"Permasalahan tidak merata itu sarana dan prasarana terbatas, keterbatasan alat kesehatan dan obat, insentif dan jenjang karier. Untuk itu, perlu pembiayaan pendidikan dokter oleh negara dan pemerintah, kemudian yang perlu ditingkatkan adalah kualitas pendidikan, karena itu akan berpengaruh pada kualitas mutu pelayanan, kualitas kompetensi, yang akan berdampak juga pada keselamatan pasien," paparnya.
Ia juga mengutarakan, perlu peran dari pemerintah daerah dalam menganalisis kebutuhan tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berbasis wilayah, dengan tata kelola dan regulasi yang sudah tertera dalam sistem kesehatan nasional.*
Baca juga: Program AHS solusi penuhi kebutuhan dokter spesialis di Kalbar
Baca juga: UMI bina kampus penuhi kebutuhan dokter KTI
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024