Tapi 1998 ada IMF, globalisasi dan perdagangan bebas, dan sejak saat ini kedelai impor, harga tinggi."
Jakarta (ANTARA News) - Melonjaknya harga kedelai pada tahun 2013 ini membuat pemerintah menghapus semua hambatan impor kedelai dan membebaskan komoditas pangan itu masuk ke Indonesia.
Keputusan penghapusan semua hambatan impor itu merupakan hasil dari pertemuan antara Wakil Presiden Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Selasa (3/9).
Kebijakan tersebut sepertinya upaya jangka pendek yang ditempuh pemerintah untuk mengamankan pasokan kedelai dalam negeri dan menstabilkan harganya.
Kebutuhan kedelai nasional saat ini memang lebih besar dari produksinya. Kondisi tersebut membuat pemerintah menempuh "jalan pintas", yakni dengan mengizinkan impor.
Produksi dalam negeri komoditas itu hanya 700.000 ton, sementara kebutuhannya mencapai 2,5 juta ton per tahun.
Menurut Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Herry Suhardiyanto, melonjaknya harga pangan yang sering terjadi di Indonesia, khususnya kedelai, bisa dihindari jika inovasi yang dilakukan perguruan tinggi dimanfaatkan secara maksimal.
"IPB memiliki kelengkapan ilmu pertanian yang paripurna dengan kualitas bertaraf internasional, yang sangat sayang jika tidak dimanfaatkan oleh negeri ini," katanya.
Ia menegaskan bahwa IPB merasakan pembangunan pertanian belum optimal dilaksanakan. Kondisi tersebut ditandai dengan masih rendahnya produksi pertanian dalam negeri dibandingkan kebutuhan pangan nasional.
Selain itu, menurut dia, masih tingginya ketergantungan terhadap impor pertanian, serta sistem tata niaga pertanian yang tidak sehat berdampak pada kelangkaan dan tingginya harga di dalam negeri.
"Indonesia juga masih menghadapi rendahnya kualitas kesehatan penduduk serta minimnya kesejahteraan petani, nelayan dan peternak," katanya.
Jaga harga
Pemerintah harus bisa menjaga tingkat harga komoditas tersebut pada tingkat petani sehingga mereka tertarik untuk menanam kedelai. Saat ini pemerintah berusaha meningkatkan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp7.000 per kilogram.
Saat ini harga kedelai sudah mencapai Rp9.000 hingga menyentuh Rp10.000 per kilogram. Angka tersebut merupakan harga tertinggi dalam sepanjang sejarah harga kedelai. Kondisi ini membuat perajin tahu dan tempe mengancam mogok berproduksi.
Menurut Menteri Pertanian Suswono dengan HPP tersebut diharapkan petani lebih tertarik menanam kedelai pada musim kemarau dibandingkan dengan menanam jagung.
"Stabilitas harga kedelai dalam jangka pendek cuma bisa dicapai dengan impor. Langkah selanjutnya, memperluas area tanam dan mendorong petani menanam kedelai dengan harga beli yang menarik," kata Suswono.
Kestabilan harga dan pasokan kedelai akan aman jika harga dianggap tetap menarik bagi petani sehingga mereka tidak tergoda untuk menanam tebu, padi, atau jagung yang lebih menguntungkan, serta areal tanam yang cukup luas dan produktivitas tinggi.
Perluasan lahan
Sementara itu, Direktur Budidaya Aneka Kacang dan Umbi Kementerian Pertanian Maman Suherman mengatakan swasembada kedelai nasional seperti yang terjadi pada 1992 bisa kembali tercipta dengan memerlukan perluasan lahan.
Perluasan lahan dan kerja keras bersama, menurut Maman, bisa menciptakan swasembada kedelai. Saat ini luas lahan kedelai itu hanya 600.000 hektare.
"Kita kira-kira menargetkan kebutuhan satu juta hektare, artinya kurang 400.000 hektare," katanya.
Kementerian Pertanian saat ini sudah merencanakan optimalisasi lahan sebanyak 220.000 hektare, di mana 80.000 hektare di antaranya sudah terealisasi.
"Jadi kita tinggal optimalisasi lahan saja, karena lahan petani luas, hanya saja saat ini memang sebagian dialihfungsikan menjadi lahan padi atau jagung. Jika kita bekerja keras bukan tidak mungkin swasembada kedelai kembali terjadi," katanya.
Maman menjelaskan saat swasembada kedelai pada 1992, Indonesia memiliki luas lahan kedelai 1,8 juta hektare. Masa swasembada itu berakhir sejak era globalisasi dan pemberlakuan perdagangan bebas pada 1998.
Sejak saat itu, kata dia, kedelai impor marak berdatangan sehingga kedelai lokal tidak bisa bersaing.
"Sehingga pada saat panen harga kedelai petani menjadi rendah, padahal ongkos produksinya mahal. Selain itu ada juga regulasi pembelian kedelai petani oleh pemerintah yang belum berjalan,serta masalah buruknya cuaca," kata dia.
Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan masa kejayaan produsen tempe dan tahu nasional telah berakhir sejak 1998, seiring era globalisasi dan pemerintah memberlakukan perdagangan bebas.
"Sejak 1979 hingga hampir selama 20 tahun kedelai itu dimonopoli Bulog, hingga akhirnya 1992 kita bisa swasembada kedelai, dan itu lah masa keemasan kami para pengrajin kedelai. Tapi 1998 ada IMF, globalisasi dan perdagangan bebas, dan sejak saat ini kedelai impor, harga tinggi," katanya.
Aip mengatakan sejak 1998 pihaknya mulai kerap melakukan unjuk rasa, hingga mogok berproduksi karena tidak tahan dengan fluktuasi dan tingginya harga kedelai.
Gakoptindo berharap dengan peraturan baru mengenai tata niaga kedelai, pemerintah bisa kembali mengikutsertakan Bulog untuk mengatur tata niaga kedelai bekerja sama dengan para importir dan diharapkan swasembada kedelai kembali terwujud.
Kementerian Perdagangan tahun ini menambah alokasi importasi kedelai sebanyak 40.000 ton bagi Perum Badan Urusan Logistik hingga akhir 2013, sehingga totalnya menjadi 60.000 ton. Secara keseluruhan,total alokasi impor yang diberikan sekitar 624.000 ton.
Kenaikan harga kedelai saat ini diduga sebagai dampak melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS. Namun, di tengah kondisi itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan adanya indikasi praktik nakal dari importir kedelai yang dengan sengaja menahan suplai ke perajin tahu dan tempe.
"Karena informasi pasokan kedelai tidak ada, jadi ada persepsi bahwa suplai kedelai juga tidak ada, yang mengakibatkan penjual kedelai akan menahan penjualan dengan asumsi jika dijual dikemudian hari akan lebih mahal," kata Komisioner KPPU Munrokhim Misanam, di Gedung KPPU, Jakarta, Kamis (5/9).
Artinya, meski hambatan impor dihapus namun jika tata niaga kedelai tidak diperbaiki, maka harga kedelai yang melonjak bakal sulit diatasi.
Oleh Ahmad Buchori
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013