Tapi, kami tidak mau berlarut-larut dengan dukungan vendor dan kreditur yang masih mau bersabar, kami pun mulai bangkit dan beroperasi kembali pada Februari 2013,"
Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan polipropilena terbesar kedua di Indonesia PT Polytama Propindo ingin menguasai 20 persen pasar dengan mengembangkan inovasi agar pabrik beroperasi optimal.

Dirut PT Polytama Propindo Didik Susilo melalui keterangan pers yang diterima ANTARA News, di Jakarta, Senin, mengatakan selama dua tahun PT Polytama Propindo (Polytama) berhenti produksi, karena terkena dampak krisis keuangan global tahun 2008 dan naiknya harga minyak mentah dunia, yang menyebabkan perusahaan itu rugi 20-21 juta dolar AS pada 2009/2010.

"Tapi, kami tidak mau berlarut-larut dengan dukungan vendor dan kreditur yang masih mau bersabar, kami pun mulai bangkit dan beroperasi kembali pada Februari 2013," ujarnya.

Sejak Pebruari 2013 itu, pabrik polipropilena Polytama yang berlokasi di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, berproduksi kembali dengan mengerjakan maklon dari PT Bukitmega Masabadi.

"Kami bisa menjalankan kerjasama dengan Bukitmega Masabadi dengan lancar. Dengan kapasitas produksi sekitar 240 MT/tahun, kami targetkan bisa mengisi pangsa pasar sekitar 20 persen,"  ujar Didik.

Saat ini, lanjut dia, kebutuhan polipropilena secara nasional mencapai satu juta metrik ton per tahun.  Sedangkan, kemampuan pasokan dari dalam negeri maksimal 800 ribu MT per tahun yang berasal dari tiga produsen yaitu Chandra Asri, Polytama Propindo, dan Pertamina. Sisanya, masih diimpor.

Untuk mengoptimalkan kapasitas produksi, pihaknya melakukan berbagai inovasi dan pengembangan, antara lain mengganti sumber energi yang selama ini merupakan komponen biaya produksi terbesar.

"Kami menargetkan, dengan inovasi dan upaya-upaya pengembangan yang dilakukan perusahaan, pada akhir tahun Polytama sudah mampu beroperasi normal (tidak bergantung skema tolling) dan  menyiapkan tambahanh unit extruder baru untuk memaksimalkan kapasitas produksi," kata Didik. Untuk itu, pihaknya membutuhkan dana sekitar delapan juta dolar AS.

Diharapkan dengan produksi maksimal Polytama, Indonesia bisa menekan angka impor produk petrokimia yang mencapai sekitar 300 sampai 400 juta dolar AS. (*)

Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013