London (ANTARA News) - Amnesty Internasional nilai Indonesia gagal dalam menghadirkan keadilan penuh atas pembunuhan pembela hak asasi manusia Munir yang ditemukan meninggal dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda pada 7 September 2004 lalu.
Untuk itu Amnesty Internasional yang berkedudukan di London minta Presiden SBY mengambil langkah efektif memastikan pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap pembela HAM diinvestigasi secara cepat, efektif, dan imparsial.
Campaigner - Indonesia & Timor-Leste, Amnesty International Secretariat, Josef Roy Benedict kepada ANTARA London, Senin menyebutkan sembilan tahun setelah pembunuhan pembela HAM Munir Said Thalib, Presiden SBY harus melindungi pembela HAM.
Presiden Yudhoyono, yang secara langsung menyebutkan kasus Munir merupakan "test of our history (ujian bagi sejarah kita)" hanya memiliki waktu setahun jabatannya lagi, untuk memastikan hadirnya keadilan dan reparasi yang penuh.
Kegagalan Presiden untuk melakukannya sejauh ini, di masa perlindungan para pembela HAM di seluruh negeri ini masih secara serius di bawah ancaman, mengundang pertanyaan serius akan warisannya nanti.
Salah satu pejuang hak asasi manusia Indonesia yang paling terkenal, Munir mengangkat kasus belasan aktivis yang menjadi korban penghilangan paksa.
Untuk itu Amnesty Internasional minta Indonesia mengambil langkah efektif untuk memastikan pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap semua pembela HAM diinvestigasi secara cepat, efektif, dan imparsial, dan mereka yang bertanggung jawab dibawa kemuka hukum lewat peradilan yang adil.
Munir salah satu pendiri dua organisasi HAM, membantu mengungkap bukti pertanggungjawaban militer atas pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor-Leste (dulunya Timor-Timur), dan membuat rekomendasi kepada pemerintah untuk membawa pejabat tingkat tinggi ke muka hukum.
Munir ditunjuk menjadi anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) di Timor-Timur pada September 1999 lalu.
Sejak saat itu Munir selalu dalam keadaan bahaya sebagai akibat dari kerja-kerja hak asasi manusianya. Pada 2002 dan 2003, kantornya diserang, dan pada Agustus 2003, sebuah bom meledak di luar rumahnya di Bekasi, Jawa Barat.
Pada 7 September 2004, Munir ditemukan meninggal dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda. Sebuah otopsi yang dilakukan pihak berwenang Belanda menunjukkan bahwa ia telah diracun dengan arsenic.
Meskipun tiga orang telah divonis atas keterlibatan mereka dalam kematian Munir, ada tuduhan yang kredibel bahwa mereka di tingkat tinggi yang bertanggung jawab atas kematiannya belum dibawa ke muka hukum.
Lebih lanjut, Presiden Yudhoyono belum mempublikasikan laporan di tahun 2005 tentang pembunuhan Munir yang dibuat oleh tim pencari fakta independen, meskipun hal ini direkomendasikan dalam Keputusan Presiden tentang pembentukan tim ini.
Minimnya akuntabilitas penuh yang terus berlangsung atas pembunuhan Munir merupakan penanda yang menakutkan bagi para pembela HAM di Indonesia akan bahaya yang mereka hadapi dan merupakan pengabaian sama sekali pihak berwenang Indonesia terhadap kerja-kerja penting mereka.
Untuk itu organisasi masyarakat sipil internasional, regional dan lokal dari Kamboja, Perancis, Jerman, Indonesia, Malaysia, Belanda, Selandia Baru, Thailand, Timor-Leste, Filipina, Singapura dan Inggris mendesak Presiden Indonesia untuk mempublikasikan laporan Tim Pencari Fakta kasus pembunuhan Munir sebagai langkah kunci menghadirkan kebenaran.
Selain itu menginisiasikan investigasi yang independen dan baru oleh kepolisian atas pembunuhan Munir untuk memastikan bahwa semua pelaku, di semua tingkatan, dibawa ke muka hukum sesuai dengan standar-standar HAM internasional.
Mengevaluasi proses pemidanaan lampau atas kasus Munir oleh Kejaksaan Agung, termasuk dugaan pelanggaran standar-standar HAM internasional; secara khusus, menginvestigasi laporan-laporan tentang intimidasi para saksi dan membawa mereka yang diduga melakukannya ke muka hukum dan juga mengesahkan undang-undang khusus yang ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi para pembela HAM. (ZG)
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013