Yogyakarta (ANTARA News) - Indonesia kehilangan lagi seorang pemikir kritis. Riswandha Imawan, pengamat politik yang dikenal luas lantaran pendapatnya yang tajam dan kritis terhadap kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia, pada Jumat siang pergi untuk selamanya.Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu meninggal dunia secara mendadak pada Jumat siang (4/8), setelah pingsan di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Sedianya, pria kelahiran Bangkalan, Madura, Jawa Timur, pada 17 Januari 1955 itu hendak terbang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), guna penelitian.Ia sempat dibawa ke Rumah Sakit Panti Rini, Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tetapi nyawanya tidak tertolong. Sebelum berangkat ke bandara, Riswanda sempat menguji mahasiswanya di UGM.Riswandha telah lama menderita penyakit diabetes dan jantung. Tetapi, penyakitnya itu tidak pernah menghalangi untuk melakukan banyak kegiatan."Sebenarnya sejak sepekan terakhir ayah mengeluh sakit, dan kami sudah menganjurkan untuk beristirahat, tetapi beliau tidak mau," kata Rafif Pemenang Imawan (19), putra sulung Riswandha.Pria berkumis yang sering disebut sebagai "pengamat politik ngoboy" itu dikukuhkan menjadi Guru Besar UGM pada 4 Septemer 2004 dengan pidato pengukuhan berjudul "Pergulatan Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati mencari Identitas Diri".Ia meraih gelar doktor bidang "Comparative Politics" di Northern Illionis, Amerika Serikat (AS), pada 1989 dan gelar MA untuk bidang yang sama juga dari universitas yang sama pada 1985. Lulusan Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM tahun 1979 itu meninggalkan seorang istri, Herry Isminedy, dan tiga anak yang semuanya laki-laki, yaitu Rafif Pemenang Imawan, Satria Aji Imawan dan Arga Pribadi Imawan.Riswandha menempuh pendidikan di beberapa tempat di Indonesia. SD dilalui di Irian Barat, sedangkan SMP dan SMA di Jakarta. Lulus pendidikan sarjana, Riswandha langsung menjadi dosen pada jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Almarhum juga pernah menjadi anggota tim ahli penyusunan UU bidang politik Depdagri dan anggota Tim Ahli Panitia ad hoc Badan pekerja MPR untuk merumuskan Amandemen UUD 1945.Sikap memihak rakyat banyak itu terlihat dalam keseharian Riswandha baik di keluarga, masyarakat, kampus maupun di pergaulan lain, yang mengenalnya sebagai pribadi yang rasa kemanusiaannya tinggi.Karena itu, Riswandha meskipun dikenal sebagai pengamat politik, ia pun tidak membatasi kritiknya hanya di ranah politik, tetapi juga ranah lain, terutama yang berkaitan dengan nasib rakyat banyak.Apalagi, ia di masa mudanya aktif di kegiatan pecinta alam, rasa kemanusiaan yang melekat pada pribadi almarhum makin kokoh, sehingga menjadikan sosok ilmuwan ini selalu dekat dengan rakyat kecil, dan ini bisa terlihat dari tulisan-tulisannya yang sering mengangkat nasib rakyat yang selalu menjadi korban politik parpol maupun politik pemerintahan. Beberapa saat lalu, ia menulis di sebuah harian lokal di Yogyakarta untuk mengritisi kebijakan Ujian Nasional (UN), yang menurut dia, mencerminkan sikap pemerintah yang congkak, karena tidak mengakui perbedaan kemampuan warganya. UN memaksa setiap siswa untuk menjadi ahli matematika, padahal Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan yang berbeda-beda.Meskipun tidak terlalu sering merambah ranah ekonomi, ia juga pernah melontarkan pendapat yang berusaha menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya kesetiaan kepada rakyat Indonesia.Ia menilai, sejumlah pejabat negara telah melupakan "kulitnya", karena lebih memihak kepada lembaga keuangan asing, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) yang dianggap terlalu menekan pemerintah Indonesia agar mengambil kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Tentang kebijakan pesan singkat per telepon seluler (SMS) yang digulirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Riswandha menilai, kebijakan itu cukup berbahaya, karena melalui SMS itu rakyat sudah merasa langsung menyampaikan aspirasinya kepada otoritas tertinggi di negeri ini. Dan, rakyat tentu saja berharap tiap kebijakan Presiden akan mengacu pada isi SMS itu. "Ini berbahaya bagi kewibawaan dan legimitasi Presiden, atau kelangsungan pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara keseluruhan," katanya waktu itu.Bencana yang terus menerus terjadi di Indonesia akhir-akhir ini juga tak luput dari perhatian almarhum, yang lebih menyoroti perilaku para pejabat negara dalam menghadapi musibah beruntun tersebut.Menurut Riswandha, banyaknya slogan yang diteriakkan menunjukkan bahwa nilai kebersamaan, kejujuran, dan kesederhanaan yang mematangkan mereka sebagai pemimpin besar, seolah sirna.Pada saat, dibutuhkan kehadiran seorang pemimpin besar, yang muncul justru sikap para pemimpin yang melebarkan jarak kaya dan miskin, dan menonjolkan kehidupan penuh kemewahan. Para pemimpin tersebut seolah hidup di alam berbeda dari rakyat yang dipimpinnya.Pria yang dikenal mudah bergaul itu juga hobi naik gunung. Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, menjadi salah seorang yang dihormatinya. Di lingkungan UGM, ia dinilai sebagai dosen yang mendobrak kefeodalan di "kampus biru" tersebut. "Almarhum salah seorang ilmuwan dan dosen yang tangguh serta produktif menulis di media cetak, dan termasuk dosen yang mendobrak kefeodalan di lingkungan UGM," kata Rektor UGM, Prof Dr Sofian Effendi.Kata dia, Riswanda beberapa waktu lalu pernah berpesan kepada dirinya agar kualitas UGM terus ditingkatkan, dan jangan puas dengan apa yang telah diraih UGM dan nama besar UGM. Sedangkan, sejawatnya di UGM, Prof Dr Sunyoto Usman, yang juga pakar politik mengatakan Riswanda dikenal sebagai pribadi yang sangat terbuka, dan pakar politik yang analisisnya tajam. Ketajaman analisis politik dari Riswanda tidak hanya dalam kualitas, tetapi juga ketajaman dalam kuantitas. "Sebagai ilmuwan ia sangat mendalami analisis secara kualitatif dan kuantitatif," sambungnya. Kata Sunyoto, belakangan ini, Riswanda sebagai pribadi yang mudah bergaul itu tampaknya banyak meluangkan waktu untuk aktivitas keagamaan. "Kegiatan religinya akhir-akhir ini cukup padat, setelah sebelumnya ia menunaikan ibadah haji," ujarnya. Sementara itu, menurut Rafif Pamenang (19), anak sulung almarhum, ayahnya selalu mengajarkan arti hidup dan kehidupan manusia. Ayahnya juga menanamkan ajaran dan pemahaman kepada anak-anaknya bahwa manusia hidup di dunia harus saling memperhatikan, memberi dan mengasihi. Kini masyarakat politik Indonesia kehilangan kritik-kritik tajam dari seorang pengamat murah senyum, Prof. Dr. Riswandha Imawan. (*)

Oleh Oleh Nusarina dan Masduki A.
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006