Hal itu disampaikan Antonius merujuk temuan dari jurnal ilmiah GM Crops and Food yang menyatakan adopsi benih bioteknologi ke pertanian dunia, terbukti meningkatkan pendapatan hingga 18,8 miliar dolar AS, dengan rincian peningkatan pendapatan di negara berkembang sebesar 52 persen, dan negara maju sebesar 48 persen.
"Kalau mengandalkan benih konvensional saja, petani akan sulit bertahan menghadapi perubahan iklim ataupun organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang akan selalu ada, dan hal-hal ini akan menyebabkan penurunan hasil panen dari petani," katanya di Jakarta, Jumat.
Menurutnya peningkatan pendapatan ini bisa terjadi dikarenakan benih bioteknologi mempunyai sifat yang lebih unggul seperti adaptif terhadap perubahan cuaca ekstrem, memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap hama dan penyakit dibandingkan benih tanaman pangan yang konvensional. Sehingga hal ini bisa mengurangi biaya operasional pertanian (agricultural input).
Ia menyampaikan selain bisa membantu petani untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dengan peningkatan produktivitas dan pendapatan, benih tanaman pangan hasil rekayasa genetik itu juga bisa menjaga kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitar dikarenakan dapat meminimalisasi penggunaan pestisida berbahaya.
“Bisa dibayangkan keuntungan yang akan didapat jika masyarakat kita lebih terbuka terhadap inovasi teknologi dan tidak mudah termakan dengan mitos yang beredar,” kata Antonius.
Sebelumnya Asosiasi Nirlaba Pertanian CropLife Indonesia mengasumsikan adanya peningkatan produksi jagung nasional sebanyak 10 persen apabila benih bioteknologi diterapkan di Indonesia.
Baca juga: CropLife: Benih bioteknologi diperlukan guna perkuat ketahanan pangan
Baca juga: Bioteknologi jadi solusi alternatif untuk penuhi kebutuhan pangan
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2024