teknologi digital ini kan sangat dinamis, tentunya regulasi dan kebijakannya pun harus agile (cekatan) dan adaptif
Jakarta (ANTARA) - Asisten Deputi Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Saleh menuturkan bahwa pihaknya menjadikan pengembangan infrastruktur di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia sebagai kebijakan pokok untuk meningkatkan inklusi keuangan.
“Kita sudah punya Palapa Ring 1, 2, dan 3 serta pemerintah kemarin meluncurkan Satelit Satria. Hanya memang ini kan coverage-nya (cakupan dari satelit tersebut) perlu direspons oleh instrumen lain, misalnya dengan memperbanyak lagi BTS,” ujar Chairul di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa hambatan geografis dan populasi yang besar merupakan tantangan bagi pemerintah dalam menyediakan infrastruktur untuk mempercepat transformasi digital demi meningkatkan inklusi keuangan.
Kemenko Perekonomian pun mengharapkan adanya keberlanjutan transformasi digital sehingga dapat memberikan manfaat dan peluang ekonomi yang lebih luas kepada masyarakat.
Oleh karena itu, Chairul mengatakan bahwa pihaknya telah meluncurkan Buku Putih Strategi Nasional Ekonomi Digital Indonesia bulan lalu, untuk dapat menjadi panutan bagi kementerian, lembaga, maupun pihak-pihak lain dalam membangun transformasi digital.
Selain membangun infrastruktur, ia menuturkan bahwa pengembangan regulasi yang lebih pro-inovasi dan melindungi nasabah melalui regulatory sandbox juga penting untuk meningkatkan inklusi keuangan.
“Karena teknologi digital ini kan sangat dinamis, tentunya regulasi dan kebijakannya pun harus agile (cekatan) dan adaptif,” kata Chairul.
Namun, menurutnya, tidak hanya inklusi keuangan yang perlu ditingkatkan, tetapi juga literasi dan edukasi keuangan agar masyarakat dapat memanfaatkan berbagai layanan keuangan dengan lebih bijaksana dan bertanggung jawab.
“Kita jangan hanya memberikan akses perbankan saja dengan membuka banyak rekening bagi masyarakat, tapi juga awareness-nya (kesadarannya) kita tingkatkan melalui literasi, edukasi, dan seterusnya. Ini menjadi penting supaya nanti tidak ada kejadian-kejadian (kasus), seperti mahasiswa buka akun (bank) semaunya,” ujar Chairul.
Ia menuturkan bahwa meningkatkan literasi dan kesadaran masyarakat merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan melalui transformasi digital.
Padahal, ia menilai Indonesia sudah memiliki potensi yang baik untuk mewujudkan transformasi tersebut dengan adanya perkembangan teknologi digital yang masif serta bonus demografi.
“Populasi bonus demografi kita yang mayoritas usia-usia produktif sehingga sebagian besar mereka adalah digital native (orang-orang yang tumbuh di era digital) gitu, artinya mereka mengikuti perkembangan teknologi, namun ini perlu diimbangi juga dengan perilakunya (dalam memanfaatkan keuangan),” kata Chairul.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan tingkat literasi keuangan dapat mencapai 65 persen sementara inklusi keuangan mencapai 93 persen pada tahun 2027.
Baca juga: OJK gandeng Kemenko Perekonomian tingkatkan inklusi keuangan
Baca juga: Prakerja bantu tingkatkan inklusi keuangan di pelosok
Baca juga: APJII:program pemerintah ikut tingkatkan peneterasi internet daerah 3T
Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024