Jakarta (ANTARA) - Hasil studi terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia bersama PwC Indonesia menunjukkan potensi film, animasi, video nasional untuk berkembang di era layanan platform streaming film dan media sosial.
Kepala Riset dan Ekonomi PwC Indonesia Denny Irawan di Jakarta, Kamis, menyampaikan bahwa PwC Indonesia bersama LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dalam satu tahun terakhir melakukan penelitian terbatas untuk mengukur definisi dampak ekonomi dari karya atau produk industri layar yang ditujukan untuk hiburan.
Pengukuran dilakukan pada dampak langsung (dampak ekonomi), dampak tidak langsung (peningkatan kontribusi produk domestik bruto/PDB), dampak terinduksi (peningkatan lapangan pekerjaan), serta dampak limpahan.
Studi dilakukan berdasarkan data dari Tabel Input-Output Ekonomi Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) 2014, data Kemenparekraf hingga tahun 2020 mengenai Nilai Tambah Bruto atau kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sektor ekonomi kreatif, serta Laporan Global Entertainment and Media Outlook 2023-2027 dari PwC.
Menurut hasil analisis yang dilakukan oleh PwC dan LPEM Universitas Indonesia pada 2023, total pendapatan industri layar (film, animasi, dan video) diproyeksikan tumbuh menjadi Rp109,6 triliun pada 2027 dari Rp90,9 triliun pada 2022.
Denny mengatakan, potensi dari setiap peningkatan pendapatan industri layar sebesar Rp1 triliun akan menghasilkan dampak sebesar Rp1,43 triliun dalam bentuk "output ekonomi" atau nilai barang dan jasa berdasarkan harga yang dibayarkan kepada pemasok industri layar pada periode waktu tertentu, kontribusi PDB senilai Rp892 miliar, dan penciptaan 4.300 lapangan kerja baru.
Menurut dia, saat ini proporsi dampak terhadap total PDB dari industri layar di Indonesia baru 0,41 persen, lebih rendah dibandingkan dengan Brazil dan Thailand (0,61 persen).
Hasil studi juga menunjukkan bahwa pekerjaan di industri layar sangat produktif. Nilai tambah bruto (NTB) per kapitanya Rp55 juta, lebih tinggi dibandingkan sektor ekonomi lainnya seperti kuliner, mode, kerajinan, dan seni pertunjukan.
Investasi di industri layar juga mendukung lapangan kerja pada sektor-sektor di seluruh rantai pasok.
Platform layanan streaming menurut studi mengalami peningkatan minat dari kalangan konsumen yang mencari hiburan.
Pada 2022, 66 juta pemirsa Indonesia mengonsumsi tiga miliar jam konten dari layanan streaming setiap bulan.
Di Indonesia, sebanyak 75 persen pengguna layanan streaming premium seperti Netflix, Vidio, Viu, dan WeTV tertarik menggunakan layanan itu karena menghadirkan konten dengan kualitas lebih baik.
Kemampuan layanan streaming menghasilkan konten yang disukai diharapkan dapat mendorong kebangkitan industri layar pada tahun-tahun mendatang.
Menurut Denny, platform tersebut juga meningkatkan rasio layar di Indonesia dari 1 berbanding 120.000 orang, yang dihitung berdasarkan jumlah layar bioskop yang sekitar 2.300 saja untuk 277 juta penduduk.
Ia menyampaikan bahwa penayangan konten Indonesia pada industri layar juga mampu membangkitkan potensi dampak limpahan pada negara.
Misalnya, film The Raid berdampak pada penerimaan masyarakat pada silat di level global. Film seperti Laskar Pelangi dan Ngeri-Ngeri Sedap menimbulkan penerimaan masyarakat terhadap pariwisata lokal.
Selain itu, film KKN Desa Penari yang mencatatkan rekor Box Office di Malaysia, Singapura, dan Brunei dan Gadis Kretek yang masuk 10 film teratas Netflix global juga dapat menimbulkan potensi dampak limpahan.
Baca juga:
Bioskop Tiket Inspire ramaikan platform streaming sinema
Layanan streaming dan OTT buka wawasan film masyarakat
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2024