Sebelum pandemi, penemuan kasus TBC hanya mencapai 40-45 persen dari estimasi kasus TBC, jadi masih banyak kasus yang belum ditemukan atau juga belum dilaporkan

Jakarta (ANTARA) - Angka laporan kasus Tuberkulosis (TBC) di Indonesia yang mencapai 800 ribu lebih pasien hingga 2023 merupakan hasil dari perbaikan sistem deteksi dan pelaporan, kata pejabat di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Sebelum pandemi, penemuan kasus TBC hanya mencapai 40-45 persen dari estimasi kasus TBC, jadi masih banyak kasus yang belum ditemukan atau juga belum dilaporkan,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan komitmen Indonesia dalam mengatasi TBC dibuktikan dengan memperbaiki sistem deteksi dan pelaporan sehingga tercapai notifikasi kasus tertinggi sepanjang sejarah pada 2022 dan 2023. Lebih dari 724.000 kasus TBC baru ditemukan pada 2022 dan jumlahnya meningkat menjadi 809.000 kasus pada 2023.

Jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus sebelum pandemi yang rata-rata penemuannya di bawah 600 ribu per tahun.

Baca juga: Kemenkes gencarkan penemuan kasus TBC di Indonesia

Menurut Imran, deteksi TBC mirip dengan deteksi COVID-19, yakni jika tidak dites, dideteksi, dan dilaporkan, maka angkanya terlihat rendah sehingga terjadi under reporting, yang mengakibatkan pengidap TBC berkeliaran dan berpotensi menularkan karena tidak diobati.

"Jika lebih banyak lagi yang terdeteksi maka potensi pengidap dapat disembuhkan akan meningkat dan daya tular dapat ditekan," katanya.

Sebagai upaya perbaikan, kata Imran, Kemenkes melakukan perbaikan sistem deteksi dan pelaporan agar data menjadi real time. Selain itu laboratorium/fasilitas kesehatan dapat melaporkan langsung sehingga data dan penemuan kasus menjadi lebih baik.

“Hasilnya, dari 60 persen kasus yang tadinya tidak temukan, saat ini hanya 32 persen kasus yang belum ditemukan. Oleh karena itu laporan atau notifikasi kasus juga menjadi lebih baik karena menemukan lebih banyak sesuai angka perkiraan yang diberikan WHO,” katanya.

Baca juga: Kemenkes minta masyarakat aktif kampanyekan pencegahan TBC

Kemenkes melakukan percepatan secara masif sehingga mencatatkan sejumlah keberhasilan. Pertama, temuan 90 persen kasus baru. Dari kasus baru itu, kata Imran, pasien yang mendapatkan pengobatan mencapai 100 persen, termasuk 90 persen pasien sudah mendapatkan pengobatan sampai tuntas.

Pencapaian lainnya, yakni 58 persen orang dengan kontak erat TBC telah mendapatkan terapi pencegahan TB (TPT).

Imran menjelaskan perbaikan sistem pelaporan data ini dilakukan dengan pembentukan sistem pelaporan khusus untuk TBC yaitu Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) yang dapat diakses oleh seluruh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).

Baca juga: Kemenkes sebut banyak pasien TBC meninggal dunia sebelum pengobatan

Perbaikan juga dilakukan melalui penerapan Program Public Private Mix (PPM) untuk meningkatkan pelibatan fasyankes baik pemerintah maupun swasta dalam penanggulangan TBC.

Dengan langkah intervensi tersebut, Imran menjelaskan fasyankes dapat segera melaporkan terduga TBC yang ditemukan melalui SITB. Kemudahan pelaporan itu mengakibatkan data penemuan kasus TBC meningkat. Peningkatan kasus juga berarti ada lebih banyak orang dengan TBC dapat dideteksi dan diobati.

"Kenaikan insiden TBC di Indonesia pada tahun 2020 dan 2021 sekitar 14,9 persen per tahun, sementara di tahun 2021 dan 2022 peningkatan insiden mencapai 42,3 persen per tahun," ujarnya.

Baca juga: RI terima hibah Rp4,6 triliun untuk eliminasi HIV dan TBC

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024