Jakarta (ANTARA) - Transisi energi sudah menjadi tren global, di banyak negara menjadi program skala besar pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), menggantikan energi berbasis fosil. Indonesia juga sejak lama sudah masuk dalam arus besar ini.

Berdasar sains dan riset, transisi energi memang menjadi jalan terbaik untuk memitigasi dampak buruk perubahan iklim, khususnya pemanasan global.

Dalam konteks Indonesia, pemimpin yang akan terpilih nantinya diharapkan memiliki komitmen pada keberlanjutan program transisi energi, yang pada sisi hilir adalah pengembangan ekonomi hijau, yakni pembangunan rendah emisi.

Apalagi perubahan iklim dan dampak buruknya (pemanasan global) sudah tampak sekarang, berupa anomali cuaca dan bencana alam skala besar di belahan manapun Bumi.

Untuk mitigasi dampak perubahan iklim lahir "Kesepakatan Paris 2015", saat COP 21 (konferensi tahunan soal iklim), yang intinya adalah membatasi kenaikan suhu sampai 1,5 derajat Celcius.

Salah satu rekomendasinya adalah transisi energi, untuk mengejar target "net zero emission" (netralitas karbon).

Indonesia yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris 2015 tersebut berkomitmen turut berkontribusi dalam pencegahan pemanasan global dan target netralitas karbon.

Oleh karena itu, kepemimpinan nasional hasil Pilpres 2024 harus memiliki komitmen kuat untuk membawa bangsa melampaui dinamika di tingkat global agar kepentingan nasional tetap tercapai.

Persatuan dan kesatuan menjadi prioritas dan modal utama, sehingga pemimpin nasional yang ideal adalah yang mampu memupuk dan mengokohkan persatuan serta kesatuan bangsa di tengah tantangan global dan domestik yang semakin kompleks.

Pemimpin yang terpilih nanti harus mampu membangun konsensus nasional dan memastikan seluruh bangsa Indonesia menjadi bagian dari upaya mencapai "Indonesia Emas 2045".

Pilpres 2024 menjadi kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin yang memiliki komitmen kuat terhadap persatuan dan kesatuan Nasional.

Pemimpin tersebut harus mampu membangun jembatan komunikasi antara berbagai kelompok masyarakat, memastikan bahwa setiap suara didengar, dan dalam mengambil keputusan mempertimbangkan kepentingan bersama.

Pilpres juga menjadi momentum penting dalam menentukan arah Indonesia untuk dua dekade mendatang.

Pemilih juga harus mempertimbangkan calon yang tidak hanya memiliki visi internasional, tetapi juga komitmen kuat memajukan kepentingan domestik.

Indonesia Emas 2045 menjadi sasaran besar, bahwa siapapun yang memegang tampuk kepemimpinan Nasional selanjutnya harus mampu menggelorakan semangat dan cara pandang bahwa Indonesia dapat menjadi negara maju dan berpendapatan tinggi.

Guna mencapai keinginan tersebut, maka siapapun presiden-wakil presiden yang akan ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang Pilpres 2024, perlu memiliki komitmen untuk peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat, di sisi lain rakyat harus mendukung presiden-wakil presiden baru.

Setidaknya ada empat aspek yang penting diperkuat untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Pertama, kedaulatan politik yang substansinya adalah menentukan nasib sendiri, sesuai UUD 1945. Kedua, kedaulatan wilayah untuk mengoptimalkan semua yang terkandung di dalam bumi Indonesia.

Ketiga, kekuatan budaya yang menunjukkan bangsa ini memiliki kekhasan dan karakter unik sebagai bangsa Indonesia. Terakhir, memiliki posisi tawar di level global untuk menciptakan perdamaian dunia.

Agar keempat nilai atau faktor tersebut dapat menjadi kunci menuju Indonesia Emas 2045, kekuatan penopangnya ada pada sumber daya manusia, yakni jumlah penduduk terdidik, ekonomi yang tangguh, serta memiliki pemimpin visioner yang mampu memaksimalkan daya tawar Indonesia di dunia internasional.

Untuk itu, program pemerintah baru nanti haruslah merupakan kesinambungan, tidak sering berganti kebijakan, dan memprioritaskan pengembangan Generasi Z dalam konteks bonus demografi.

Pilpres yang sebentar lagi berlangsung, harus mampu melahirkan pemimpin Nasional yang berkualitas dan unggul, serta memperoleh kepercayaan yang tinggi dari rakyat.

Modal kuat yang harus dimiliki oleh para pemimpin masa depan adalah kemampuan untuk menjalankan secara berkesinambungan beberapa program strategis, yaitu transisi energi dan pengembangan ekonomi hijau, yang berujung memastikan ketahanan pangan di tengah krisis iklim.


Transisi energi

Saat ini, Indonesia masih mengandalkan energi berbasis fosil, baik untuk sektor kelistrikan maupun transportasi.

Sumber energi listrik masih didominasi PLTU batubara, kemudian sektor transportasi didominasi energi fosil.

Maka transisi energi adalah keniscayaan, sesuai komitmen Indonesia terhadap komunitas global, itu sebabnya perlu pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan).

Indonesia sejatinya memiliki potensi yang sangat besar untuk EBT, seperti sinar matahari (PLTS), tenaga angin (PLTB), air (PLTA dan PLTM), daur ulang sampah (PLTSa), gelombang laut, dan panas bumi (geotermal, PLTP).

Sinar matahari, misalnya, sebagai negeri tropis potensinya sangat melimpah, namun perlu investasi untuk instalasi pendukung, utamanya PLTS atap bagi segmen perumahan, yang komponennya masih impor.

Masalah harga ini masih belum terjangkau bagi rakyat kebanyakan. Demikian juga untuk pembangkit EBT lainnya, seperti pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), juga membutuhkan investasi yang besar dan padat teknologi.

Persoalannya, transisi energi membutuhkan investasi besar, pemimpin mendatang diharapkan tidak menambah beban rakyat dengan cara tetap menyediakan energi (utamanya listrik) dengan harga terjangkau, sesuai amanat konstitusi.

Pemimpin kita harus tetap berikhtiar untuk terus memproduksi energi terjangkau bagi rakyat, sesuai prinsip kesejahteraan.

Dalam konteks ini, PLTU (berbasis batubara) masih berperan signifikan, dengan asumsi sebagai "jembatan" dalam transisi energi.

Pada akhirnya energi terbarukan dominan dalam bauran energi Nasional. Teknologi EBT semakin murah dari waktu ke waktu, sehingga perlu ada ada ruang bagi publik untuk memanfaatkannya.

Publik bisa memilih pemimpin yang memiliki cita-cita besar, menjadikan Indonesia sebagai negara adidaya energi terbarukan dan bioenergi, dengan melanjutkan rencana "pensiun dini" PLTU, untuk mereduksi secara bertahap ketergantungan pada energi fosil.

Kemudian, berencana membangun kilang minyak baru, pabrik etanol, dan infrastruktur distribusi gas di bawah BUMN atau swasta.

Rakyat bisa mempertimbangkan calon pemimpin yang berencana mempromosikan sertifikasi produk ramah lingkungan dalam konteks ekonomi hijau, guna memastikan pengelolaan sumber daya berkelanjutan.

Terkait pengembangan ekonomi hijau, sebagian besar program dan kebijakan negara fokus pada peningkatan keamanan Nasional dan penegakan kedaulatan negara.

*) Dr Taufan Hunneman*) adalah Ketua Umum Forum Bersama Bhinneka Tunggal Ika dan Dosen UCIC Cirebon

Copyright © ANTARA 2024