Tunis (ANTARA News) - Empatpuluh-sembilan tahanan melarikan diri dari sebuah penjara di Tunisia setelah melumpuhkan para sipir, kata seorang pejabat senior, Senin.

Insiden itu menandai semakin memburuknya keamanan di tengah krisis politik karena ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah yang dipimpin kelompok garis keras, lapor Reuters.

Direktur Jendral Urusan Penjara Habib Sboui mengatakan, 49 tahanan melarikan diri dari penjara di kota Gabes pada Minggu malam, dan 12 orang ditangkap lagi tak lama kemudian.

"Mereka melarikan dengan menyerang petugas penjara, tanpa ada penembakan," kata Sboui dalam sebuah pernyataan. Diyakini bahwa semua tahanan yang melarikan diri adalah penjahat biasa.

Pembobolan penjara itu menandai semakin memburuknya keamanan, yang sejauh ini telah ternoda oleh serangan-serangan militan yang dua diantaranya menewaskan dua politikus sekuler oposisi yang menyulut krisis politik.

Tunisia menahan ratusan militan garis keras dalam setahun terakhir yang dituduh terlibat dalam serangan-serangan.

Interpol mengeluarkan peringatan keamanan global pada 3 Agustus yang meminta 190 negara anggotanya meningkatkan kewaspadaan atas kemungkinan serangan setelah serangkaian pembobolan penjara di Pakistan, Irak dan Libya, yang beberapa diantaranya dengan bantuan Al Qaida.

Pada Juli, lebih dari 1.000 tahanan melarikan diri dari sebuah penjara dekat Benghazi di Libya timur, yang merupakan pangkalan kelompok garis keras.

Pada 2011, ribuan tahanan melarikan diri di Tunisia selama kekacauan besar yang mengarah pada kejatuhan Presiden Zine al-Abidine Ali dalam pemberontakan rakyat.

Keadaan yang tidak stabil memburuk ketika militan garis keras meningkatkan serangan-serangan yang menewaskan delapan prajurit pada Juli tahun ini.

Peristiwa pada 29 Juli di dekat perbatasan Aljazair itu merupakan salah satu serangan terbesar terhadap pasukan keamanan Tunisia dalam beberapa dasawarsa ini.

Pada Mei, tentara dan polisi Tunisia memburu lebih dari 30 tersangka militan terkait Al Qaida di dekat perbatasan negara itu dengan Aljazair, dan Presiden Moncef Marzouki pergi ke daerah itu untuk mengawasai operasi tersebut.

Tunisia semakin khawatir atas serangan-serangan yang dituduhkan pada militan garis keras bersenjata.

Menteri Dalam Negeri Lotfi Ben Jeddou kepada parlemen beberapa waktu lalu mengatakan, militan yang diburu oleh militer di perbatasan Tunisia dengan Aljazair adalah veteran perang Mali, dimana pasukan Prancis campur tangan untuk menumpas kelompok garis keras.

Ben Jeddou mengatakan sebelumnya, satu kelompok yang diketahui berada di sekitar Gunung Chaambi terdiri dari sekitar 20 orang, "separuh diantaranya orang Tunisia dan separuh lagi warga Aljazair", sementara kelompok kedua yang berada di daerah Kef sebelah utara lagi mencakup selusin militan bersenjata.

Ia menekankan, kelompok Chaambi diburu sejak Desember ketika mereka dituduh melancarkan serangan terhadap sebuah pos perbatasan yang menewaskan seorang polisi.

Namun, ia mengatakan, perburuan ditingkatkan sejak akhir April, ketika bom-bom rakitan yang dipasang oleh militan mulai melukai anggota-anggota angkatan bersenjata yang memeriksa daerah itu.

Sebanyak 16 prajurit dan anggota garda nasional cedera, beberapa dari mereka dalam keadaan serius, dalam serangan-serangan militan itu.

Pemerintah Islamis Tunisia saat ini juga sedang menghadapi peningkatan protes oleh oposisi sekuler yang menuntut pengunduran diri mereka.

Oposisi, yang marah atas pembunuhan dua pemimpin mereka dan terilhami oleh penggulingan presiden Islamis oleh militer di Mesir, berusaha menggulingkan pemerintah Tunisia yang dipimpin partai Islamis Ennahda.



Penerjemah: Memet Suratmadi

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013