Doni misalnya, pedagang atribut di Lantai II Blok II Pusat Perbelanjaan Senen, mengaku mengenakan uang muka yang tinggi--hingga 70 persen--untuk menyiasati jika pesanan atribut yang dia terima tidak diambil atau tidak dibayar lunas oleh pemesannya.
"Belajar dari pengalaman Pemilu sebelumnya, ada pesanan yang tidak diambil atau dibayar lunas. Kalau seperti itu, saya pasti rugi karena barang-barang pesanan itu tidak bisa dijual lagi," katanya di Jakarta, Senin.
Doni mengatakan biasanya ada sejumlah calon anggota legislatif atau tim sukses yang kurang pandai berhitung kebutuhan anggaran untuk pengadaan atribut. Menurut dia, itu salah satu penyebab pesanan atribut tidak diambil atau tidak dibayar lunas.
Effendi, pedagang di Lantai I Blok II Pusat Perbelanjaan Senen, mengatakan dia mengenakan uang muka 50 persen untuk pesanan atribut kampanye.
"Kalau ada yang tidak diambil, mau tidak mau harus dibuang. Tidak bisa dijual karena mencantumkan nama caleg," katanya.
Namun, atribut kampanye yang tidak mencantumkan nama caleg seperti bendera partai politik, Effendi mengatakan masih bisa dijual lagi.
"Kalau seperti itu, malah saya lebih untung karena sudah menerima uang muka 50 persen, lalu barangnya dibeli caleg lain," ujarnya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013