Awalnya, serangan stroke hanya mengenai mata beliau

Surabaya (ANTARA News) - Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga Surabaya yang juga pejuang HAM, Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA (81), meninggal dunia di RS St Elisabeth Semarang, Senin pukul 07.10 WIB, karena serangan stroke.

"Sejak enam tahun terakhir, kakak saya memang wira-wiri (pulang-pergi) Surabaya-Semarang, karena beliau mengajar di Undip," kata adik kandung almarhum, Sritomo Wignjosoebroto, di rumah duka Jalan Dharmawangsa 3, Surabaya.

Dosen Jurusan Teknik Industri FTI ITS yang baru saja pensiun itu menjelaskan kakaknya yang pernah menjadi anggota Komnas HAM 1993-2002 dan penerima Yap Thiam Hien Award (2011) merupakan kakak, pengganti ayah, guru, dan juga idola serta kebanggaan keluarga.

"Saya pernah bekerja di dunia perminyakan, tapi saya akhirnya mengajar di almamater (ITS), karena saya melihat kakak saya begitu bersemangat dengan profesinya. Kalau kakak saya yang dosen saja bisa mendidik saya seperti ini, masak saya tidak bisa," tuturnya.

Menurut aktivis mahasiswa era tahun 1970-an itu, kakaknya yang merupakan pendiri Fisip Unair Surabaya pada tahun 1977 itu meninggal dunia setelah dua kali terkena serangan stroke sejak enam bulan terakhir.

"Awalnya, serangan stroke hanya mengenai mata beliau dan akhirnya membaik, tapi sebelum Lebaran justru menyerang kakinya dan tanggal 26 Agustus lalu mulai ada keluhan mual hingga kritis akibat pembengkakan di otak kecil dan mengalami penyumbatan darah otak," katanya.

Sang kakak yang dikenal sebagai sosiolog hukum dan mengajarkan pentingnya hukum dari sisi keadilan atau bukan hukum secara yuridis formal itu menghembuskan nafas di Semarang.

"Senin (2/9) siang, jenazah almarhum dibawa ke Surabaya lewat jalur darat. Mungkin jenazah tiba Maghrib (Senin malam) dan akan disemayamkan di rumah duka dulu. Rencananya, Selasa pagi dibawa ke Aula Fisip Unair untuk selanjutnya dimakamkan di TPU Keputih," katanya.

Sementara itu, mantan murid yang juga asisten almarhum di FH Universitas Pelita Harapan (UPH) Surabaya Sari Mandiana mengaku sangat kehilangan, karena almarhum merupakan dosen yang sangat mendidik dan baik.

"Saking baiknya, beliau itu seperti teman saja, beliau suka guyon dengan kita, tapi wawasan beliau sangat luas, karena itu kita sangat kehilangan. Kita saja kalah dengan beliau, karena beliau sangat energik kalau mengajar, padahal usianya saat itu sudah 70 tahun," katanya.

Almarhum yang lahir di Madiun pada 19 November 1932 meninggalkan tiga putri dan lima cucu, sedangkan istrinya Ny Asmaningsih meninggal dunia terlebih dulu pada 10 Juni 2005. Ketiga putrinya adalah Sawitri Dharmastuti, Saraswati Paramastuti, dan Titisari Pratiwi.

Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013