Bukan tidak bayar pajak, tetap teman-teman bayar pajak, tapi dengan tarif yang lama.
Yogyakarta (ANTARA) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memastikan seluruh pengusaha anggotanya bakal mematuhi pembayaran pajak hiburan, namun dengan mengacu tarif yang lama.
"Teman-teman akan melakukan pembayaran pajak sesuai aturan yang lama. Bukan tidak bayar pajak, tetap teman-teman bayar pajak, tapi dengan tarif yang lama," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Perpajakan dan Kepabeanan Kadin DIY Deddy Suwadi, di Yogyakarta, Jumat.
Deddy menuturkan dalam situasi pemulihan pascapandemi COVID-19, para pengusaha di DIY, khususnya di sektor wisata bakal menanggung dampak yang berat apabila pajak hiburan harus dinaikkan menjadi 40 sampai 75 persen sesuai UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Mengingat Pemprov DIY belum menetapkan perda berkaitan dengan kebijakan fiskal itu, menurut dia, Kadin DIY akan mendorong agar penerapan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2022 tersebut ditunda.
Deddy mengatakan segera berkoordinasi dengan Pemprov DIY serta pemkab dan pemkot di DIY untuk membahas serta memberi masukan terkait kebijakan fiskal itu demi menjaga pertumbuhan ekonomi di provinsi ini.
"Kami akan melakukan komunikasi dengan kepala daerah se-DIY, berkaitan apa yang kami tekankan tentang penundaan penerapan pajak hiburan," kata dia pula.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Pranowo Eryono khawatir kenaikan pajak 40-75 persen bakal menurunkan animo masyarakat berwisata di Yogyakarta, sehingga berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) khususnya pada perusahaan di sektor wisata.
"Begitu (kenaikan pajak hiburan) diterapkan, enggak ada wisatawan, ya PHK. Dua sampai tiga bulan sudah bisa. Makanya kami ingin menunda di DIY, menolak di pusat," kata dia lagi.
Dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pajak hiburan terhadap 11 jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.
Sebelas jenis pajak itu, berdasarkan Pasal 55 UU 1/2022, di antaranya tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; serta pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap.
Kemudian, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; serta panti pijat dan pijat refleksi.
Adapun untuk diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah memperbarui kebijakan dengan menetapkan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen.
Hal itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.
Baca juga: Asosiasi dan pengusaha temui Menko Luhut bahas penundaan pajak hiburan
Baca juga: Hotman Paris menduga ada oknum tak lapor Presiden soal pajak hiburan
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024