Jakarta (ANTARA) - Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid mengatakan program deradikalisasi diharapkan dapat mengembalikan para narapidana terorisme (napiter) maupun mantan napiter bisa kembali menerima sistem demokrasi dan Pancasila.
“Seperti kita tahu, Abu Bakar Ba’asyir adalah mantan napiter yang beberapa waktu lalu mengatakan akan mengikuti proses demokrasi, yaitu pemilu,” kata Nurwakhid dalam keterangannya diterima di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan program deradikalisasi adalah proses terencana, terintegrasi, terpadu, sistematis dan berkelanjutan untuk menghilangkan atau mengurangi radikalisme yang terjadi sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019.
Dengan adanya penerimaan ini, kata dia, para mantan napiter bisa terlibat aktif dalam proses pemilu dan menyukseskan pemilu berjalan damai, seperti yang dilakukan Abu Bakar Ba’asyir.
“Itu artinya dia (Ba’asyir) sudah tidak lagi mengkafirkan atau mengharamkan demokrasi. Minimal dia sudah berkurang kadar radikalismenya, ya kita hormati,” ujarnya.
Nurwakhid juga berharap agar mantan-mantan napiter yang masih belum sadar agar bisa mengikuti dan menerima sistem demokrasi dan Pancasila. Karena Pancasila dan demokrasi adalah kesepakatan bersama yang sudah diatur dalam konstitusi negara.
“Yang belum sadar tentu mereka akan golput, mengharamkan demokrasi, mengharamkan pemilu dan itu adalah pekerjaan kami (BNPT) untuk melakukan pembinaan supaya mereka moderat,” ujarnya.
Karena, lanjut dia, kalau seseorang telah mengharamkan demokrasi atau pemilu maka sudah dipastikan berpaham radikal, atau berpaham takfiri.
Dirinya menyebut bahwa pada hakikatnya program deradikalisasi yang dilaksanakan oleh BNPT selama ini meliputi mulai dari identifikasi, kemudian pembinaan dan evaluasi.
“Identifikasi itu mulai dari pemetaan, identifikasi korban ideologi radikal, kemudian profiling, termasuk assesment untuk kita mengetahui tingkat radikalisme seseorang. Kemudian dilanjutkan dengan pembinaan,” ujarnya.
Mantan Kasatgaswil Densus 88 Antiteror DIY itu mengatakan bahwa pembinaan dalam program deradikalisasi itu substansinya ada tiga, yaitu rehabilitasi, baik itu rehabilitasi secara ideologi, dengan diberikan wawasan kebangsaan dan keagamaan.
Kemudian re-edukasi dan reintegrasi sosial, termasuk memberikan pelatihan kewirausahaan agar para napiter maupun eks napiter bisa mandiri secara ekonomi dan tidak kembali kepada jaringannya yang lama.
“Dengan program deradikalisasi ini diharapkan mereka bisa menjadi moderat,” ujarnya.
Moderat itu, kata dia ada empat indikatornya, yakni bisa menerima Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 sebagai konsensus nasional.
Dengan menerima konsensus nasional, Nurwakhid menambahkan, bahwa mantan napiter sudah bisa disebut inklusif, tidak eksklusif, karena inklusif itu intoleran terhadap keberagaman. Dengan inklusif, itu artinya mantan napiter dan napiter sudah akomodatif terhadap budaya maupun kearifan lokal dan sudah anti terhadap kekerasan.
“Jika para napiter ini sudah moderat, artinya pembinaannya sudah berhasil, maka dia akan ikut dan mengakui demokrasi itu,” terangnya.
Tetapi, bila napiter belum moderat, masih memiliki faham takfiri, atau mengkafirkan sistem demokrasi, maka dikatakan masih radikal.
“Mereka tidak akan mengikuti sistem demokrasi, mereka akan golput. Karena kan selama saat masih radikal mereka tidak mengakui sistem demokrasi dan pancasila,” kata Nurwakhid memaparkan.
Menjelang hari pemilihan umum 14 Februari, BPNT berperan aktif dalam menyukseskan pemilu damai, mengimbau warga binaan dan mitra deradikalisasi agar mengakui dan menghormati demokrasi dan juga mengikuti pesta demokrasi, dengan cara menggunakan hak pilihnya.
“Kita semua tentu berharap agar Pemilu baik itu Pileg maupun Pilpres tahun 2024 ini berjalan dengan aman, damai kemudian saling menghormati,” katanya.
Nurwakhid mengingatkan perbedaan dalam pilihan adalah sebuah hak, tetapi jangan sampai perbedaan menimbulkan perpecahan di masyarakat, saling membangun kebencian atau fitnah bahkan saling menebar hoaks.
Jenderal polisi bintang satu itu mengatakan bahwa silahkan pilihan berbeda, yang penting rukun bersatu bahwa demokrasi adalah sistem yang disepakati bersama dalam rangka memilih pemimpin atau wakil rakyat. Jangan mau dipecah-belah atau berselih karena beda pilihan.
Sejatinya pemilu disebut pesta demokrasi, karena masyarakat harus bahagia dan gembira dalam memilih pemimpinnya, rukun, damai dan menghormati perbedaan.
“Makanya ini disebut pesta demokrasi, maka harus bahagia, dan kebahagiaan itu bisa terwujud kalau kita damai, rukun, menghormati pilihan yang berbeda,” katanya.
Baca juga: Eks Napiter jadi agen demokrasi ajak masyarakat sukseskan Pemilu 2024
Baca juga: BNPT RI jelaskan peran mitra deradikalisasi ke RRG
Baca juga: BNPT-Kemenkumham kerja sama bangun sistem kontrol data deradikalisasi
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024