Bengkulu, (ANTARA News) - LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bengkulu mendesak Pemprov Bengkulu segera menghentikan ekploitasi terumbu karang secara besar-besaran di Pulau Enggano untuk dijadikan bahan bangunan.Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu Ali Akbar, di Bengkulu, Kamis (3/8) mengatakan, ekspolitasi terumbu karang secara besar-besaran itu akan membahayakan kehidupan biolat laut, khususnya ikan.Dari hasil penelitian, saat ini kondisi terumbu karang di Pulau Enggano yang berjarak 90 mil laut dari Kota Bengkulu dan berada di Samudera Indonesia itu sudah rusak parah karena diambil untuk dijadikan bahan bangunan.Dari 92.782 hektare luas perairan Enggano sebagian mengalami kerusakan cukup parah. Mengenai berapa besar kerusakannya Walhi tidak tahu pasti yang jelas selama Mei- Juni 2006 terjadi ekploitasinya 5.000 kubik terumbu karang untuk membangun bendungan di Kaana, Enggano.Ali menambahkan coba bayangkan kalau pengambilan terumbu karang dilakukan selama lima tahun berapa besar kerusakan di Pulau tersebut.Jika ekploitasi tersebut tidak segera dihentikan maka terumbu karang akan habis, padahal kekokohan pulau tersebut sangat tergantung pada keberadaan terumbu karang.Untuk memulihkan kondisi terumbu karang agar bisa seperti sediakala membutuhkan waktu sekitar 100 tahun, katanya.Mengenai program pemerintah untuk memperbaiki terumbu karang dengan melepas ribuan ban bekas yang dilakukan beberapa tahun lalu, ternyata tidak membuahkan hasil malah menimbulkan permasalahan baru yakni ban yang dilepaskan tersebut hanyut kemana-mana.Ban bekas juga dapat merusak ekosistem lainnya karena ban mengandung racun apalagi jika tercampur kadar garam air laut yang cukup tinggi membuat racun yang ada di ban akan cepat merusak ekositem lainnya termasuk terumbu karang.Ali mengatakan masyarakat boleh saja mengambil terumbu karang tapi dengan syarat yang sudah terlepas atau mati sehingga tidak merusak terumbu karang yang masih hidup.Tutup Penambangan Teluk SepangSementara itu, Walhi Bengkulu bersama masyarakat Teluk Sepang juga mendesak Pemkot Bengkulu segera menutup lokasi tambang pasir di daerah Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, karena telah merusak lingkungan dan menimbulkan abrasi yang sangat parah.Ali Akbar mengatakan, jika sampai 10 Agustus 2006 tidak juga ada respon maka Walhi bersama seluruh masyarakat Teluk Sepang akan mengadakan aksi besar-besaran turun ke jalan menutut penutupan tersebut."Melihat parahnya abrasi akibat penambangan tersebut, kita mendesak Pemkot segera menutup lokasi tambang tersebut, jika tidak kita akan mengadakan aksi besar-besaran dan turun ke jalan," ujarnya.Saat ini sudah ada 11 elemen yang tergabung dalam kelompok 371 yang terdiri dari masyarakat, mahasiswa pencita lingkungan dan siswa siap menggelar aksi tersebut.Alasan penutupan itu sendiri karena lokasi abrasi di tambang tersebut sekarang ini sudah hampir mendekat alur masuk pelabuhan Pulau Baai.Jika aktivitas penambangan tidak segera dihentikan, Pemda bisa kehilangan satu-satunya pelabuhan yang ada di Bengkulu dan kerugian pasti akan lebih besar.Berdasarkan hasil survei oleh Walhi, saat ini abrasi pantai sudah mencapai 25 meter lebih, hal itu dapat dilihat dari jalan ke lokasi tambang yang sudah tiga kali dipindahkan, karena jalan sebelumnya sudah berada di tengah laut.Mengenai perusahaan yang diwajibkan melakukan penghijauan di sekitar lokasi penambangan, menurut Ali tidak akan memberikan manfaat besar karena di tempat yang tidak ditanami akan terjadi abrasi."Sifat air laut tersebut terus berubah-ubah, jadi tidak dapat dipatok hanya dari satu sisi," ujarnya.Ali juga menilai Pemkot Bengkulu telah berbohong dengan menyatakan perusahaan hanya mengambil pasir sedimentasi (pasir datang), karena pasir sedimentasi tidak dapat dipergunakan sama sekali.""Lihat saja pasir hasil pengerukan alur yang saat ini sudah menggunung di pinggir alur kenapa tidak ada satupun pihak penambang yang memanfaatkannya," tegas Ali Akbar.Masyarakat di 22 RT dan 4 RW Teluk Sepang sebenarnya sudah lama minta agar penambangan pasir di daerahnya ditutup karena abrasinya sudah parah.(*)
Copyright © ANTARA 2006