Bondowoso (ANTARA) - Rabu, 24 Januari 2024, sekira pukul 06.05 WIB, Yulis, sudah berpakaian rapi untuk berangkat ke sekolah. Rumah Yulis di daerah Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, berjarak sekitar 40 Km ke sekolah tempatnya mengajar, yakni di SMK Negeri 1 Sumberwringin, juga di kabupaten penghasil tapai itu.
Agar tiba di tempat tugasnya mengajar tidak terlambat, guru bimbingan konseling (BK) tersebut harus berangkat dari rumahnya sekitar pukul 6 pagi.
Dengan bersepeda motor melewati jalan berliku, kadang naik turun ke arah pegunungan Kawah Ijen, ia menghabiskan waktu sekitar 50 hingga 60 menit untuk tiba di sekolah.
Pagi itu, Yulis janjian dengan Wakil Kepala SMKN 1 Sumberwringin Bidang Kesiswaan Erni Agustin Devianti untuk kunjungan rumah (home visit) ke salah satu siswa yang sudah hampir satu bulan tidak masuk sekolah.
Yulis tiba di sekolah pukul 6.50 WIB dan sudah ditunggu oleh Erni serta pengawas dari Cabang Dinas Pendidikan Jawa Timur Wilayah Bondowoso-Situbondo, A Haris Susanto, dengan agenda membujuk Ai, salah satu siswa perempuan, agar mau kembali ke sekolah. Kedua guru dan pengawas itu sempat sarapan di warung dekat sekolah.
Sekitar pukul 7.15 WIB, mereka berangkat ke arah timur dari sekolah. Sekitar 2 km, kondisi jalan masih bagus dengan aspal. Setelah itu, mereka mulai melewati jalan makadam, dengan batu-batu runcing menonjol. Tidak ada pilihan, kecuali melewati jalan berbatu dengan kecepatan hanya 15-20 km/jam. Jika memilih jalur pinggir yang beralas tanah, rawan terperosok karena banyak cekungan.
Melewati jalanan yang sesekali menanjak, dengan kondisi tidak rata, mengharuskan Yulis dan Erni beberapa kali turun dari motor. Beruntung pada malam hari dan pagi itu tidak hujan, sehingga jalan tidak licin.
Wartawan ANTARA yang ikut dalam kunjugan itu, menyaksikan Erni, Yulis, dan Haris harus melewati jalan penuh tantangan itu sekitar 5 km, melewati areal hutan dan perkebunan kopi di kanan kiri jalan.
Tiba di rumah siswa, mereka disambut oleh perempuan muda, yang ternyata alumni dari SMKN 1 Sumberwringin. Si perempuan muda itu bercerita kalau Ai, adiknya, masih tidur.
Sekitar 15 menit guru itu menunggu, anak muridnya keluar ke ruang tamu. Ai keluar kamar dengan mata masih belum terbuka sempurna. "Sebentar ya Bu, saya mau raup (cuci) muka dulu," kata Ai, setelah menyalami Erni, Yulis, dan Haris.
Setelah membersihkan wajah, Ai menemui gurunya. Si guru tidak langsung bertanya mengapa dia lama tidak masuk sekolah. Erni dan Yulis bertanya bagaimana kabar Ai.
Melihat kondisi jiwa si anak sudah merasa nyaman, barulah kedua guru itu bertanya mengapa Ai lama tidak masuk ke sekolah.
Ai bercerita bahwa akhir-akhir ini dia sering sakit lambung. Si guru membujuknya agar ia kembali mau ke sekolah, setelah kondisinya sehat. "Kamu kalau sakit tidak apa-apa tidak masuk, asal memberi tahu ke bu guru lewat WA. Tapi jangan terus tidak mau masuk lagi ke sekolah. Sayang kan, sudah kelas 11 (kelas 2), sebentar lagi kelas 12 (kelas 3), dan lulus dapat ijazah," kata Yulis kepada Ai.
Karena Ai hanya diam, Yulis bertanya apakah dia mau kembali ke sekolah. Ai menyatakan mau, namun jawaban itu belum meyakinkan.
Ai kemudian bercerita bagaimana tantangannya ia bersekolah, karena setiap pagi harus berangkat pukul 6. Dengan sepeda motor dia harus melewati jalan berbatu, yang kalau hujan sering licin. Ai beberapa kali pernah jatuh dari motornya karena tidak mampu menahan setang kemudi saat melewati jalan berbatu.
Meskipun jalur dari rumah si murid ke sekolah tergolong sepi dan kanan kiri jalan berupa hutan serta kebun kopi, jalur itu tergolong aman, sehingga Ai tidak merasa takut. Apalagi ia sering berboncengan dengan tetangganya yang juga satu sekolah.
Ibu kandung Ai yang ikut nimbrung dalam kunjungan guru itu menimpali bahwa anaknya memang sering kambuh sakit lambungnya.
Lambung sakit rupanya bukan persoalan utama dari tidak masuknya Ai ke sekolah tanpa kabar, hingga hampir satu bulan.
Erni dan beberapa guru sudah beberapa kali mendatangi rumah Ai, namun hasilnya nihil.
Erni dan Yulis berdiskusi, termasuk dengan kepala sekolah, dan berkesimpulan bahwa Ai sudah kehilangan semangat bersekolah dan tidak ada lagi ikatan batin dengan teman-temannya di sekolah. Ia telanjur merasa "nyaman" bermalas-malasan di rumah, tanpa beban mata pelajaran.
Karena itu, Erni dan Yulis sepakat untuk datang bersama ke rumah Ai, untuk menggugah semangat Ai ke sekolah.
Erni dan Yulis menyampaikan bahwa jika Ai menganggap ijazah SMK mungkin tidak terlalu berguna bagi masa depannya, setidaknya Ai bisa mengisi masa remajanya di sekolah dengan penuh keriangan bersama teman sebaya.
Meskipun demikian, kedua guru perempuan itu mengingatkan bahwa ijazah SMK pasti akan banyak bermanfaat, meskipun Ai tinggal di pelosok desa, jauh dari kota.
Kedua guru itu bercerita bahwa ijazah SMK bisa digunakan, misalnya ketika negara membutuhkan tenaga kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), sebagai kepanjangan tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat akan ada pemilihan umum. Atau saat puskesmas membutuhkan tenaga kader posyandu, yang dibutuhkan adalah lulusan setingkat SLTA/SMK.
Selain itu, secara status sosial, antara perempuan yang memiliki ijazah hanya SMP dengan yang SMK, masyarakat, termasuk calon suami dan mertua, pasti menaruh penghargaan berbeda jika kelak Ai menikah.
"Selain itu, kalau Ai tetap melanjutkan sekolah, otomatis kamu kan menunda usia pernikahan dini. Pernikahan dini ini yang mau diberantas oleh pemerintah," kata Erni.
Ai mulai menunduk, dan perlahan menegaskan mau kembali ke sekolah. Kali ini, jawabannya lebih meyakinkan.
Berpacaran di sekolah
Kalau guru pada umumnya banyak yang mengingatkan anak muridnya agar tidak berpacaran saat usia sekolah, Yulis justru menyarankan Ai untuk punya pacar teman satu sekolah.
Kata Yulis kepada Ai, kalau di sekolah punya pacar, mungkin akan menjadi penyemangat bagi dia rajin masuk kelas. Tentu saja saran Yulis itu hanya sebatas guyonan, ketika si guru kehabisan bahan untuk memotivasi muridnya.
Bagi masyarakat perkotaan, motivasi memiliki ijazah, minimal setingkat SLTA, mungkin sudah biasa. Ijazah SMK di kota bisa digunakan untuk melamar pekerjaan. Berbeda dengan masyarakat desa, apalagi yang tinggal di lereng gunung. Bagi mereka, ijazah SD dengan SLTA, hampir tidak ada bedanya.
Paradigma berpikir komunal seperti itulah yang ditangkap oleh Erni dan Yulis, sehingga mereka tidak mudah untuk merayu muridnya semangat bersekolah kembali hingga mendapatkan ijazah.
Kasus Ai hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi Erni dan Yulis dalam menjalankan tugas sebagai "pahlawan tanpa jasa" dengan penuh dedikasi dan komitmen untuk mengantar anak didiknya menyadari pentingnya pendidikan.
Erni dan Yulis mengaku pernah "patah hati" ketika menghadapi muridnya yang tidak mau kembali ke sekolah, sekitar sebulan sebelum ujian akhir.
"Saya betul-betul merasa patah hati, saat itu. Masalahnya, si anak masih ingin menyelesaikan pendidikan hingga mendapatkan ijazah, tapi orang tuanya bersikukuh untuk menikahkan anak perempuannya itu. Rasanya pingin nangis saya," kata Yulis, yang juga diiyakan Erni.
Saat itu, Erni dan Yulis mendatangi rumah murid perempuan itu yang sudah beberapa hari tidak masuk sekolah. Kedua guru itu baru tahu bahwa orang tua si siswa sudah mengikat janji dengan orang tua tunangan si anak.
Karena sudah menyepakati hari dan tanggal pernikahan, orang tua siswa itu tidak mau mengundur jadwal pernikahan, meskipun anaknya masih ingin menyelesaikan sekolah.
Erni dan Yulis menyarankan orang tua si murid agar pernikahan dilakukan secara agama terlebih dahulu, sebelum dicatat resmi di kantor urusan agama (KUA).
Orang tua siswa bergeming, dengan mengemukakan berbagai alasan, misalnya sudah telanjur mendapatkan "hari baik" dari tokoh agama di desa untuk pernikahan, termasuk sudah memesan berbagai sarana untuk resepsi pernikahan. Selain itu, calon menantu mengancam akan meninggalkan anak perempuannya jika pernikahan itu ditunda.
Di situlah Erni dan Yulis terjebak dalam rasa bersalah berkepanjangan karena gagal menyelamatkan siswanya dari jeratan pernikahan dini.
Begitulah tantangan sekaligus perjuangan guru yang bertugas di perdesaan. Guru dan sekolah harus betul-betul menempatkan diri sebagai pengayom bagi anak didiknya.
Mereka tidak bisa bertindak semena-mena memberikan "hukuman" bagi siswa yang sudah kehilangan semangat untuk belajar dan beberapa hari tidak masuk sekolah tanpa izin, sebagaimana banyak dipraktikkan di sekolah wilayah kota.
Bukan hanya mencurahkan tenaga dan waktu untuk mengajak siswa kembali ke sekolah. Tidak jarang Erni dan Yulis mengeluarkan biaya pribadi untuk merayu siswanya semangat kembali ke sekolah.
Bahkan, Erni pernah harus rela menjemput dan mengantarkan pulang muridnya yang awalnya tidak lagi berniat melanjutkan sekolah karena alasan masalah transportasi. Secara jarak, rumah siswa dengan sekolah paling jauh hanya 15 km. Karena kondisi infrastruktur jalan yang tidak mulus, perjalanan itu memakan waktu, antara 1 hingga 1,5 jam.
"Dulu ada siswa yang saya jemput tiap hari ke rumahnya, pulangnya saya antar. Alhamdulillah, setelah 15 hari antar-jemput, dia kembali rajin ke sekolah. Itulah kepuasan batin saya sebagai guru kalau berhasil mengajak murid kembali bersekolah," kata Erni.
Meskipun secara umum, masyarakat desa selalu menampakkan sikap ramah, tidak jarang Erni dan guru lainnya mendapatkan perlakuan tidak nyaman ketika kunjungan ke rumah siswa. Orang tua yang tidak lagi mendukung anaknya untuk melanjutkan sekolah, menunjukkan sikap kurang sopan ketika guru datang ke rumah siswa.
Erni bercerita, pernah mendapati ibu siswanya mengamuk di dalam rumah, karena si orang tua tidak setuju dengan upaya guru untuk mengajak siswa kembali bersekolah.
Bukan hanya Erni dan Yulis yang harus berjuang mengembalikan semangat anak-anak muda untuk fokus menyelesaikan sekolah. Guru-guru lain juga melakukan hal yang sama, karena komitmen dan rasa tanggung jawabnya sebagai pendidik.
Mereka juga sering memberikan uang jajan pada murid-murid ketika pada siang hari uang jajan mereka sudah habis, sementara pelajaran masih berlangsung hingga sore hari. Atau pada hari-hari tertentu diadakan acara makan bersama di kelas. Guru yang membawakan nasi dan lauknya.
Pada umumnya, keadaan yang membuat siswa putus sekolah di SMKN 1 Sumberwringin adalah praktik pernikahan dini, terutama jika si anak (umumnya perempuan) sudah terikat pertunangan. Pada kasus anak laki-laki mereka enggan kembali ke sekolah karena memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.
Ada murid yang bekerja ikut orang lain sebagai buruh, ada juga yang menyabit rumput untuk pakan ternak. Mayoritas siswa di sekolah itu adalah keluarga petani dan buruh tani yang secara ekonomi termasuk kelas bawah.
Selain itu, ada juga kasus khusus yang membuat guru harus berjuang ekstra untuk mengembalikan anak ke sekolah, salah satunya ada siswa laki-laki yang mengalami luka batin mendalam, akibat perundungan di masa sekolah dasar.
Sebut saja siswa itu bernama Dm. Ia tergolong rajin dan mudah menangkap pelajaran di kelas. Tiba-tiba anak itu tidak masuk sekolah, lebih dari satu pekan tanpa kabar. Setelah mendapatkan informasi tempat tinggalnya, Yulis dan Desi Arisandi (wali kelas), melakukan "home visit" ke tempat tinggal Dm.
Kedua guru itu terkejut mendapat kabar bahwa Dm yang tinggal bersama neneknya itu suka mengamuk saat di rumah. Ia sering memecahkan barang-barang di rumah, termasuk menendang pintu rumah tanpa sebab. Karena ketakutan nyawanya terancam, akhirnya si nenek pindah tinggal ke rumah familinya, dengan meninggalkan Dm hidup sendiri.
Menurut cerita si nenek, Dm sejak kecil sudah berpisah dengan bapak dan ibunya yang sudah bercerai. Bapak ibunya sudah lama tinggal di luar Jawa, sehingga Dm, diasuh oleh si nenek.
Akibat luka batin yang mendalam, Desi dan Yulis kesulitan menggali data kondisi jiwa dari Dm. Si murid itu cenderung diam dan murung ketika diajak bicara. Ketika dilakukan konseling si anak merasa nyaman untuk berkomunikasi, barulah terbuka fakta bahwa Dm sering mengalami perasaan marah tanpa sebab, termasuk pernah muncul keinginan bunuh diri.
Akhirnya, kedua guru memberikan perhatian khusus untuk menyelamatkan jiwa Dm. Lewat komunikasi intensif, diperoleh kesimpulan bahwa Dm "dendam" pada si nenek, karena peristiwa pindah sekolah saat dia masih SD. Mendapati anaknya bercerai, si nenek membawa si cucu Dm pindah ke daerah lain di luar Bondowoso, dengan budaya dan bahasa yang berbeda dengan keseharian Dm.
Di sekolah baru itu, Dm sering mendapatkan perundungan dari teman-temannya, karena tidak bisa berbahasa daerah setempat. Kala itu, Dm sempat mengungkapkan keinginannya ke nenek untuk kembali bersekolah di Bondowoso, yang akhirnya terwujud.
Mengingat luka batin akibat perundungan itu, pikiran bawah sadar Dm menimpakan semuanya sebagai kesalahan si nenek. Ketika sudah di SMK, luka batin itu mencuat. Karena masih terikat norma bahwa dia harus menghormati nenek yang telah mengasuhnya dari kecil, Dm hanya melampiaskan kemarahan dengan cara mengamuk.
"Alhamdulillah, Dm sekarang sudah mulai mau sekolah lagi, setelah kami beberapa kali menemuinya di rumah. Kasus Dm ini memang memerlukan penanganan ekstra khusus, karena penyebabnya juga sangat khusus. Kami bersyukur, ikhtiar kami sebagai guru membuahkan hasil menyelamatkan anak tersebut," kata Yulis.
Masih terkait komitmen dan kepedulian sekolah kepada para muridnya, guru-guru berstastus pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) terkadang urunan untuk membelikan seragam kepada para siswanya.
Haris Susanto, pengawas sekolah dari Cabang Dinas Pendidikan Jawa Timur wilayah Bondowoso yang ikut dalam kegiatan kunjungan guru SMKN 1 Sumberwringin ke rumah Ai menyatakan, begitulah memang seharusnya para guru dan sekolah memperlakukan siswa.
Sebagai pengawas pembina di SMK Negeri I Sumberwringin Haris merasa terpanggil untuk ikut untuk menyaksikan secara langsung upaya dan perjuangan guru untuk mengembalikan siswa ke sekolah.
Guru dan seluruh insan sekolah harus berjuang keras bagaimana anak didiknya mengikuti pendidikan hingga lulus, mendapatkan ijazah.
"Tapi memang perjuangan guru sekolah di desa, seperti SMKN 1 Sumberwringin ini, luar biasa. Perjuangan mengayomi siswa cukup berat karena rumah siswa yang jauh dari sekolah dan kondisi jalan yang kurang bagus," kata Haris kepada ANTARA.
Sementara itu, Kepala SMKN 1 Sumberwringin, Nur Yakuti, SPd, MPd, merasa sangat bersyukur karena guru-guru dan staf di sekolahnya mempunyai komitmen dan kepedulian yang tinggi terhadap para murid.
Bagi dia, karena situasi dan kondisi, maka kebijakan di sekolah ini mengharuskan fleksibel dan penuh toleransi terhadap keadaan darurat yang dihadapi murid. Anak yang tidak masuk lama tidak bisa langsung diberi "sanksi" tanpa didalami terlebih dahulu masalahnya. Jika siswa tetap berniat bersekolah, gurulah yang harus mengantarkan tugas-tugas sekolah agar siswa tidak ketinggalan pelajaran.
Instruksi dan pembinaan dari Kacabdin Pendidikan Jatim wilayah Bondowoso juga mengatakan harus mendukung penuh agar siswa mendapatkan hak untuk belajar, hingga naik kelas dan lulus sekolah.
Tugas guru adalah membantu semaksimal mungkin. Motivasi dari pimpinan di sekolah dan dari cabang dinas pendidikan inilah yang juga membuat guru-guru SMK Negeri I Sumberwringin selalu semangat dan optimistis dalam mengantarkan siswa mendapatkan masa depan yang lebih cerah dengan berbekal ijazah SMK.
Sebagian dari siswa ada yang berhasil dimotivasi oleh guru untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, dengan biaya dari Kartu Indonesia Pintar (KIP)-Kuliah, yang dulu dikenal sebagai Beasiswa Bidikmisi.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024