Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan Rp6,7 trilun kerugian keuangan negara terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mineral dan batubara.
"Ada kerugian keuangan negara berdasarkan temuan tim optimalisasi penerimaan negara (OPN) yaitu PNBP dari hasil royalti dan iuran tetap dari sektor mineral dan batubara pada 2003-2011 sebesar Rp6,77 triliun yang dihitung berdasarkan nilai tukar dolar Rp9 ribu saat itu," kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas di gedung KPK di Jakarta, Kamis.
Temuan tersebut disampaikan dalam konferensi pers seusai rapat bersama dengan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo dan Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany.
"Sedangkan potensi kerugian negara dari royalti yang belum dibayar sepanjan 2010-2012 adalah 1,22 miliar dolar AS dan dari lima lima produksi mineral terbesar yaitu nikel, bijih besi, timbal, bauksit dan mangan sebesar 24,6 juta dolar AS dan belum ada pemberian sanksi administratis seperti pencabutan izin perusahaan apalagi sanksi pidana," ungkap Busyro.
KPK menurut Busyro juga berpendapat bahwa ada ironi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam seperti batubara karena Indonesia hanya memiliki cadangan 20 miliar ton atau 2,63 persen cadangan dunia padahal memproduksi 376 juta ton pada tahun 2011 dengan lebih dari 80 persen produksi untuk tujuan ekspor.
"Ada 309 juta ton batubara diekspor per tahun, ada upaya sistematis yang terindikasi adanya ekploitasi, sehingga dikhawatirkan 20 tahun ke depan batubara di Indonesia akan ludes, selain itu ada keengganan pelaku usaha tambang untuk melakukan renegosiasi di kontrak sebagaimana amanat UU No 4/2009 tentang Minerba," ungkap Busyro.
Sedangkan berdasarkan presentasi Dirjen Pajak, Busyro menjelaskan bahwa ada ribuan pelabuhan tikus yang tidak terkontrol.
"Dari paparan Dirjen Pajak mestinya negara dapat memungut royalti skala besar dari korporasi minerba, tapi ada persoalan ada ribuan pelabuhan tikus yang tidak terkontrol, aparat bea cukai tidak bisa masuk ke lalu lintas minerba," ungkap Busyro.
Hal tersebut muncul karena tidak sinergisnya pemerintah daerah (pemda) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan dirjen Mineral dan Batubara.
"Di pemda, kepala daerah tingkat 2 punya kewenangan mengeluarkan 10.700 izin usaha pertambangan, Pak Wamen (ESDM) tadi mengungkapkan ada kekurangan sumber daya manusia (SDM), tapi Wamen ESDM akan merekrut 1.000 inspektur tambang di daerah untuk mengawasi IUP di daerah," tambah Busyro.
Usulan lain KPK menurut Busyro adalah untuk merevisi UU Otonomi Daerah No 32 tahun 2004.
"Saatnya UU Otonomi Daerah direvisi, kami akan memulai langkah ini ke pemerintah dan DPR karena menjadi persoalan dan sistem yang memungkinkan, sehingga revisi otonomi seharusnya didahulukan dari pada pembahasan KUHAP dan KUHP demi kepentingan rakyat," tambah Busyro.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan bahwa kementeriannya akan melakukan rekomendasi KPK.
"Kami akan lakukan aksi dari semua rekomendasi KPK, kami diberikan waktu 1 bulan untuk melakukan rencana aksi dan setiap 3 bulan melapor apa saja yang sudah dilaksanakan dan bila ada kendala intersektoral akan dilaporkan ke KPK," ungkap Susilo.
Namun Susilo masih mengakui adanya masalah pertambangan ilegal.
"Masalah illegal mining ditambah dengan banyaknya pelabuhan tikus kami susah mengontrol karena terus terang kebocoran ekspor bijih mineral dan batubara sudah bukan main besarnya, bila `illegal mining` teratasi maka bisa saja 30-40 persen penerimaan produksi dari total ekspor kita," ungkap Busyro.
Sedangkan Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengeluhkan mengenai akurasi data yang tidak dimiliki oleh DJP.
"Bagi DJP yang paling penting adalah data produksi, ekspor, penjualan karena kami tidak dalam kapasitas menghitung produksi mengingat sistem bersifat `self assestment` sehingga kami bergantung pada instansi teknis di pusat dan daerah padahal sebagian besar data dalam IUP (Izin Usaha Pertambangan) tidak akurat, saat kami datangi pemiliknya tidak ada, lokasinya juga berbeda," ungkap Fuad.
Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Roni Dwi Susanto menjelaskan bahwa data produksi untuk menentukan royalti masih tergantung surveyor.
"Jadi saat dilakukan konfirmasi data selalu terjadi selisih, ditambah ada kekosongan aturan yaitu tidak ada peraturan menteri sebagai turunan UU dan ada pembiaran karena seharusnya ada sesutu yang bisa dilakukan tapi belum dikerjakan dan regulasi PNPB yang harus disinkronisasi kembali," kata Roni.
Pewarta: Imam Santoso
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013