Wellington (ANTARA) - Sekitar 45 ekor paus pembunuh palsu (false killer whale) dan lumba-lumba hidung botol (bottlenose dolphin) yang terdampar di pantai timur Pulau Utara, Selandia Baru, pada Minggu (21/1) sore waktu setempat semuanya mati, menurut pernyataan yang dirilis oleh Departemen Konservasi (DOC) Selandia Baru pada Senin (22/1).

Setelah sempat dikembalikan ke perairan saat air pasang oleh masyarakat setempat, seluruh kawanan itu kembali terdampar di sebuah titik terumbu karang yang terpencil dan tidak dapat dijangkau. Beberapa di antaranya mati, dan sisanya akhirnya menjalani prosedur eutanasia, menurut petugas DOC yang dirilis dalam sebuah pernyataan.

Manajer Operasional DOC Gisborne Matt Tong mengatakan bahwa mereka mengambil keputusan sulit dalam diskusi tentang pelaksanaan prosedur eutanasia terhadap kawanan hewan tersebut agar mereka tidak menderita untuk waktu yang lama.

Hal itu terpaksa dilakukan setelah para ilmuwan menilai bahwa paus dan lumba-lumba itu memiliki peluang yang sangat kecil untuk dapat dikembalikan ke laut dan bertahan hidup.

"Tim kami menemukan kawanan tersebut dalam kondisi yang sangat menderita dan terluka di karang berbatu dengan beberapa hewan sudah dalam kondisi mati. Mereka jelas menderita dan melakukan prosedur eutanasia adalah tindakan yang paling manusiawi."

"Ini merupakan akhir yang menyedihkan bagi paus-paus ini dan masyarakat, terutama setelah proses pengembalian ke perairan yang sukses dilakukan pada hari sebelumnya," ujar Matt Tong.

Tim DOC telah bekerja di lokasi kejadian dan melakukan pengukuran serta mengumpulkan sampel untuk membantu membangun pemahaman tentang populasi paus dan lumba-lumba di perairan Selandia Baru.

Kasus terdamparnya paus dan lumba-lumba kerap terjadi di Selandia Baru. Penyebabnya masih belum sepenuhnya diketahui, tetapi beberapa faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian itu mencakup penyakit, kesalahan navigasi, fitur geografis, air laut yang turun dengan cepat, pengejaran oleh pemangsa, atau cuaca ekstrem, kata DOC.

Pewarta: Xinhua
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2024