Kalau ditanya 10 orang pelajar, kira-kira 4-5 itu paham tentang literasi keuangan, sementara sisanya tidak atau belum paham tentang literasi keuangan, dan seterusnya. Kalau inklusi, sekarang sekitar 77, ini artinya kalau dari 10 anak pelajar atau mah

Jakarta (ANTARA) - Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi menyatakan bahwa tingkat literasi dan inklusi keuangan para pelajar di bawah rata-rata nasional.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) yang dilakukan OJK pada tahun 2022, indeks literasi dan inklusi keuangan pelajar masing-masing sebesar 47,56 persen dan 77,80 persen. Indeks tersebut berada di bawah indeks literasi dan inklusi keuangan secara nasional, yaitu sebesar 49,68 persen dan 85,10 persen

“Kalau ditanya 10 orang pelajar, kira-kira 4-5 itu paham tentang literasi keuangan, sementara sisanya tidak atau belum paham tentang literasi keuangan, dan seterusnya. Kalau inklusi, sekarang sekitar 77, ini artinya kalau dari 10 anak pelajar atau mahasiswa ditanya, 7 di antara sudah punya produk keuangan,” katanya dalam Kegiatan Edukasi Keuangan Bagi Pelajar tingkat SMA/sederajat di Indonesia Banking School, Jakarta, Senin.

Apa yang menjadi menarik adalah level inklusi lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat literasi keuangan. Hal tersebut menandakan bahwa banyak yang menggunakan produk jasa keuangan, tetapi masih belum paham jika ditanya apa produk jasa keuangan yang digunakan.

Menurut dia, edukasi keuangan terhadap generasi muda sangat penting agar mereka tidak terjerat oleh penipuan-penipuan yang bertebaran.

Misalnya, banyak generasi muda yang menjadi korban karena tergiur ajakan Doni Salmanan, seorang influencer, atas kasus penipuan investasi bodong trading platform Quotex. Begitu pula dengan penipuan investasi bodong robot trading Auto Trade Gold (ATG) dari influencer bernama Wahyu Kenzo.

Friderica menganggap ada sejumlah mentalitas yang menyebabkan anak-anak muda mudah tergiur untuk mengikuti ajakan-ajakan influencer dan orang-orang semacamnya. Mulai dari Fear of Missing Out (FOMO), You Only Live Once (YOLO), hingga Fear of Other People's Opinions (FOPO).

Dia memberikan contoh mentalitas FOPO yang dimiliki anak muda dapat menyebabkan mereka dengan mudah mengajukan pinjaman online, tetapi ternyata ilegal. Salah satu kasus yang diceritakan ialah ada seorang pemuda sedang makan bersama pacarnya, lalu tiba-tiba teman dari yang perempuan datang dan diajak ikut makan.

Cowoknya langsung jantungnya mau copot karena uang yang di kantongnya ini cuman cukup buat makan dua orang, tapi karena gengsi akhirnya jempolnya bergerak di bawah meja mengajukan pinjaman online yang cuman 10 menit uangnya cair, cuman pinjem Rp1,5 juta. (Namun), karena itu pinjol ilegal, kemudian beranak terus sampai akhirnya end up dengan berapa? Rp150 juta. Karena terus berbunga, ketika macet, tiba-tiba ada pinjol lain ilegal yang menawarkan,” ungkap dia.

Dengan terus berbunga, akhirnya yang pemuda tersebut terganggu karena dikejar-kejar debt collector dan orang tuanya stress, padahal mau lulus kuliah dan mencari pekerjaan.

“Jadi hati-hati ya adik-adik, untuk itu kenapa kalian ada di sini untuk belajar tentang financial literacy yang sangat bermanfaat untuk menghindarkan dari berbagai bahaya yang bisa terjadi padamu karena ketidaktahuan dan juga untuk menyiapkan masa depanmu dengan lebih baik, menyiapkan masa depan yang cerah dengan literasi keuangan,” ujar Friderica.

Baca juga: OJK: Generasi muda belum bijaksana akses produk keuangan digital
Baca juga: OJK dan BEI tingkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah
Baca juga: OJK: BFN tingkatkan literasi dan inklusi keuangan digital masyarakat

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024