Jakarta (ANTARA News) - Bila UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak direvisi, calon presiden pilihan rakyat dipastikan tidak akan bisa menjadi calon presiden.

"Jika revisi ini gagal, dan ambang batas pencapresan tetap 20 persen kursi nasional dan 25 persen kursi di DPR RI, maka 'penonton bersiaplah kecewa' karena yang mendapat tiket, ternyata bukan selalu figur yang dikehendaki mayoritas publik," kata Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy di Jakarta, Selasa.

"Kalau itu terjadi, maka benarlah tuduhan sabotase kehendak publik oleh beberapa partai politik," sambung dia.

Menurut dia, capres pilihan rakyat bakal menghadapi kendala dari internal partai politik sendiri, dan keterpilihan pada pemilihan langsung didasarkan atas elektabilitas tanpa peduli figur sudah atau akan, mendapat tiket pencapresan atau tidak.

"Di sinilah timbul paradoks, antara capres usungan parpol versus capres pilihan publik. Bisa terjadi, capres pilihan publik yang begitu populer tidak mendapat tiket capres," kata dia.

Alasannya, pertama tidak ada atau tidak cukup 20 persen kursi parpol pengusungnya, dan kedua d ia berhadapan dengan oligarki kepemimpinan parpol yang menegasikan elektabilitasnya.

Menurut dia, syarat dalam UU Pilres juga tidak menjamin stabilitas sistem presidensial. "Padahal belajar pada praktek Setgab SBY-Boediono, jangankan 20 persen, 76 persen dukungan pencapresan pun, tidak menjamin stabilitas sistem presidensial. "

Untuk itulah, UU Pilpres mesti direvisi, dengan menurunkan ambang batas pencapresan menjadi sesuai ambang batas parlemen 3,5 persen.

Sedangkan, stabilitas sistem presidensial diletakkan pada pengelompokan parlemen pada oposisi, penyeimbang atau koalisi yang diatur dalam UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, demikian Romi.

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013