Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning pada Jumat mengatakan China dan Filipina sepakat untuk mengelola perbedaan di laut melalui jalan komunikasi dan negosiasi untuk mencapai stabilitas.

Hal itu menjadi hasil dari Pertemuan ke-8 Mekanisme Konsultasi Bilateral tentang Laut China Selatan yang dilaksanakan di Shanghai pada Kamis (18/1).

"Saya ingin menekankan bahwa China dan Filipina sepakat untuk menerapkan kesepakatan bersama yang telah dicapai kedua kepala negara mengenai masalah maritim dengan terus mengelola perbedaan dan perselisihan maritim melalui konsultasi yang saling bersahabat," kata Mao Ning kepada media di Beijing, China.

Pertemuan itu dihadiri Wakil Menteri Luar Negeri China Nong Rong dan Wakil Menlu Filipina Theresa Lazaro.

"Kedua pihak juga sepakat memajukan kerja sama maritim praktis dan bersama-sama menjunjung perdamaian maritim maupun stabilitas di laut," tambah Mao Ning.

Titik temu lain juga dicapai dalam mekanisme komunikasi maritim, kerja sama penjaga pantai, ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan, dan bidang lainnya.

Pertemuan antara Nong dan Lazaro disebut berlangsung konstruktif, tanpa basa-basi, dan terus terang. Istilah itu kerap dipakai diplomat untuk menyebut pertemuan yang dipenuhi ketegangan dan perbedaan pendapat. Meski demikian, para pihak dalam pertemuan setuju untuk terus berdialog.

Sengketa Beijing-Manila adalah bagian dari saling klaim di Laut China Selatan. Negara lain yaitu Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam juga punya tumpang tindih klaim dengan China di Laut China Selatan.

Beijing mengklaim hampir seluruh perairan itu dengan menyebutnya sebagai kawasan "Nine-Dash Line" yaitu wilayah historis militer China yang termasuk sebagian zona ekonomi eksklusif (ZEE) Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Pada dua bulan terakhir 2023, hampir tiap pekan terjadi ketegangan antara China dan Filipina di Laut China Selatan, termasuk juga melibatkan pihak ketiga yaitu Amerika Serikat (AS) yang melakukan latihan militer dengan Angkatan Laut Filipina di perairan tersebut.

Pemerintah Filipina yang merupakan sekutu dekat AS memberikan akses kehadiran militer AS di empat pangkalan di negara tersebut sehingga menjadikan mereka dapat berhadapan langsung dengan militer China yang secara aktif hadir di Laut China Selatan dan bahkan membayangi Taiwan.

Filipina juga menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" sejak 1999 bagi penjaga pantai Filipina di dekat pulau karang yang disebut China sebagai "Ren'ai Jiao".

"Ren'ai Jiao" disebut oleh Filipina sebagai "Beting Ayungin" yaitu bagian dari Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua negara, selain juga beberapa negara Asia Tenggara lainnya.

Sesungguhnya sejak 1997, negara-negara ASEAN dan China menyepakati Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct atau DOC) pada 2002. Pada tahun itu pula Code of Conduct (COC) mulai dirundingkan, menandai pertama kalinya China menerima perjanjian multilateral mengenai isu tersebut.

Setelah 17 tahun berunding, ASEAN-China menyepakati naskah yang akan dirundingkan dan dimulai pada 2019. Namun pada 2020-2021 terhenti akibat pandemi sehingga baru pada 2022, perundingan dimulai kembali.

Pada November 2023, Filipina mengajukan COC baru bagi kestabilan dan perdamaian di wilayah sengketa Laut China Selatan.

Usulan Manila muncul setelah Presiden Ferdinand Marcos Jr merasa prihatin mengenai negosiasi yang berkepanjangan antara ASEAN dan China tentang COC di Laut China Selatan.

Baca juga: China, Filipina sepakat diskusi atasi konflik di Laut China Selatan
Baca juga: China panggil Dubes Filipina, dampak cuitan Presiden Marcos Jr di X
Baca juga: China: Latihan perang AS-Filipina di Laut China Selatan provokatif

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024