Samarinda (ANTARA) - "Salam lestari". Begitulah ucapan akhir yang dilontarkan Yuliana Wetuq, Koordinator Penjaga Hutan Petkuq Mehuey, Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, setelah berbincang mengenai hutan lestari.
Bersama sembilan rekannya, ia telah menjaga hutan agar tetap lestari sejak 11 tahun lalu, atau sejak 2013. Mereka sadar bahwa Kalimantan merupakan paru-paru dunia sehingga jangan sampai ada yang merusak "paru-paru" ini agar kehidupan tetap seimbang.
Hutan yang dijaga di Muara Wahau ini seluas 38 ribu hektare (ha) dengan rincian, 9 ribu ha masuk wilayah Kabupaten Berau, selebihnya yang seluas 29 ribu ha masuk wilayah Kutai Timur (Kutim).
Adapun di seluruh Kalimantan memiliki total luas hutan mencapai 40,8 juta ha sehingga wajar pulau ini mendapat julukan paru-paru dunia atau jantung dunia karena menyimpan banyak oksigen dan karbon.
Hutan Kalimantan memang harus dijaga lebih serius agar tidak terus mengalami deforestasi yang menyebabkan fungsi hutan pun menjadi menurun.
Ia bersama teman-teman yang didukung Lembaga Adat Wehea dan pemerintah desa, memiliki komitmen dalam menjaga hutan tetap lestari.
Pola penjagaan yang dilakukan oleh para relawan ini adalah bergantian antara 3-4 orang masuk dan keliling ke dalam hutan setiap 4-5 hari.
Tiga hingga empat orang tersebut membawa peralatan penjagaan dan perbekalan untuk bertahan hidup dalam hutan antara 4-5 hari. Setelah itu mereka akan disusul rekan lainnya dengan jumlah dan hari yang sama, begitu seterusnya per periode sejak 2013 lalu hingga kini.
Mereka bertugas menjaga hutan dan ekosistem di dalamnya seperti rotan, tanaman obat, satwa, tumbuhan untuk ritual, dan keanekaragaman hayati lain agar tidak diburu dan ditebang orang.
Dalam menjaga dan mengelilingi hutan, tim terkadang melakukan dengan berjalan kaki dan menggunakan sepeda motor. Berjalan kaki ditempuh ketika ada kawasan tertentu yang tidak bisa dilalui dengan sepeda motor.
Setiap kejadian tertentu saat menjaga hutan selalu mereka catat, baik ketika melihat tanaman obat yang baru dilihat, perjalanan yang mereka tempuh per hari, kawasan mana saja yang dijelajahi, hingga ketika ada pemburu atau orang yang akan menebang pohon.
Di hutan ini para penjaga hutan masih sering melihat hewan liar seperti beruang, orang utan, rusa, macan dahan, burung enggang, dan satwa lain, kecuali babi yang tidak pernah terlihat sejak 2020, meski mereka tidak mengetahui mengapa babi tidak terlihat lagi.
Warga yang mengambil hasil hutan baik rotan, tanaman obat, madu, dan lainnya harus melalui izin dari lembaga adat setempat. Jika tidak, maka mereka akan mendapat sanksi dan denda adat.
Komoditas yang diambil pun tidak boleh berlebihan, harus seperlunya untuk kebutuhan keluarga. Aturan ini diberlakukan untuk menjaga kelestarian hutan.
Mereka menjaga hutan ini secara suka rela demi mempertahankan kebutuhan air bersih tetap tercukupi, demi suplai oksigen dan karbon tetap banyak bukan hanya untuk mereka saja, namun juga untuk jutaan orang lain.
Rp25,33 miliar
Pengorbanan para penjaga hutan ini patut mendapat apresiasi. Salah satu yang diharapkan, mereka mendapat manfaat dari hasil perdagangan karbon karena selama ini mereka terbukti menjaga hutan demi tercukupinya oksigen bagi dunia.
Kelompok penjaga hutan yang dipimpin Yuliana itu merupakan satu dari sejumlah komunitas yang selama ini peduli hutan di Kabupaten Kutim. Masih ada 82 desa beserta kelompok lain atau total ada 83 desa di Kutim yang peduli terhadap kelestarian hutan.
Pemprov Kaltim juga sudah menerbitkan surat tentang Pembagian Manfaat Kinerja dan Penghargaan Dana Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-FC) setelah Kabupaten Kutim memperoleh Rp25,33 miliar.
Dana dari program penurunan emisi sebesar ini untuk 83 desa di Kutim sehingga masing-masing desa pada 2024 ini memperoleh Rp305,18 juta, salah satunya adalah Desa Nehas Liah Bing, tempat Yuliana dan kawan-kawan menjaga kelestarian hutan.
Rincian dari 83 desa ini adalah di Kecamatan Batu Ampar ada enam desa, Kecamatan Bengalon (7) desa, Busang (4), Kaliorang (2), Karangan (7), Kaubun (2), Kongbeng (2), Long Mesangat (1), Muara Ancalong (4).
Kecamatan Muara Bengkal (2), Muara Wahau (4), Rantau Pulung (5), Sandaran (7), Sangatta Selatan (4), Sangatta Utara (2), Sangkulirang (13), Telen (5), dan Kecamatan Teluk Pandan terdapat enam desa.
Selain itu, ada juga 26 pemerintah desa di Kabupaten Kutim yang mendapat manfaat alokasi penghargaan dengan total senilai Rp2,18 miliar. Namun tiap desa menerima penghargaan berbeda, sesuai dengan apa yang dilakukan selama ini, yakni dengan nilai antara Rp50 juta hingga Rp100 juta per desa.
Sebanyak 26 pemerintah desa itu tersebar di sembilan kecamatan yakni Long Mesangat ada empat desa, Muara Ancalong (3), Muara Bengkal (5), Busang (3), Kaubun (1), Muara Wahau (2), Sangkulirang (2), Karangan (3), dan Kecamatan Kongbeng satu desa.
Operasional jaga hutan
Kelak ketika dana dari program FCPF-CF cair pada tahun ini, itu bukan hanya untuk tim penjaga hutan, melainkan juga akan digunakan untuk beberapa lembaga yang ada di desa.
Bagi tim penjaga hutan, dana itu antara lain akan digunakan sebagai biaya operasional, pengadaan logistik, pembelian bahan bakar minyak, dan keperluan lain yang berkaitan dengan upaya melestarikan hutan.
Masyarakat adat, lembaga, dan tim penjaga hutan berharap dana yang dijanjikan tersebut secepatnya cair karena hal ini merupakan bentuk kepedulian dunia terhadap masyarakat yang telah mempertahankan hutan.
Akan tetapi, sesungguhnya ada atau tidak ada dana FCPF-CF, selama ini tim penjaga hutan bersama masyarakat adat tetap mempertahankan tutupan lahan dari ancaman penebangan hutan dan perburuan satwa liar.
Hal ini terbukti dari 11 tahun menjaga hutan, mereka tidak mendapat honor. Apa yang dilakukan demi menjaga hutan tetap hijau, menjaga satwa tetap hidup agar mereka bisa mengambil sedikit hasil hutan untuk kehidupan mereka.
Mereka berharap dana FCPF-CF untuk menjaga dan melestarikan hutan segera dapat dicairkan oleh Bank Dunia dan lembaga donor dunia. Dana hasil perdagangan karbon ini cukup berarti untuk membiayai kegiatan operasional mereka.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024