Jakarta (ANTARA News) - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan hasil dari konstalasi politik dan kondisi sosial masyarakat, karena itu dapat diubah sesuai dengan tuntutan zaman, demikian keempat pembicara dalam diskusi pro kontra amandemen UUD 1945. "Namun melakukan perubahan atau amandemen undang-undang tidak bisa sembarangan," kata Ridwan Saidi, salah satu panelis dalam diskusi tersebut di Jakarta, Selasa. Menurut tokoh Betawi itu perubahan Undang-Undang Dasar tidak bisa dilakukan oleh MPR tetapi harus melalui Rakyat. "Kepres No. 150/159 yang ditempatkan dalam lembaran negara no 75/tahun 1959 mengungkapkan perubahan UUD harus bertanya kepada rakyat," katanya. Sementara itu, menurut Bvitri Susanti, salah satu pembicara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, perubahan Undang-Undang Dasar adalah keniscayaan kondisi sosial politik. "Terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar adalah hal yang wajar dalam dunia saat ini," katanya. Ia menambahkan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar di Indonesia merupakan hasil dari konstalasi sosial dan politik saat ini. Hal senada diungkapkan juga oleh anggota DPD RI, Ichsan Loulembah. Menurutnya UUD saat ini merupakan hasil dari kontrak sosial yang dibuat oleh Rakyat Indonesia. Selain itu ia menambahkan pembuatan UUD pasti akan terjadi kompromi politik. Sedangkan Anggota Badan Legislasi DPR RI Lukman Hakim Saefudin berpendapat bahwa selama prosedur perubahan UUD dilalui sesuai dengan UUD 1945 pasal 37, maka keberadaan UUD tersebut sah. (*)
Copyright © ANTARA 2006