Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memproyeksikan kinerja ritel akan tumbuh tipis menjadi 3,7 persen hingga 3,8 persen secara year on year (yoy) dibandingkan tahun 2023 yang tumbuh 3,6 persen jika penyelenggaraan Pemilu berjalan kondusif.
“Kita bisa di angka sekitar 3,7-,3,8 persen secara keseluruhan 2024. Dibandingkan 2023 kita naiknya sedikit, tapi ada kenaikan karena ada kontribusi dari LNPRT (Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga). Mendekati angka 4 persen di 2024 ini tetapi itu kalau terjaga ya kalau tidak terjaga ya berkebalikan,” kata Ketua Aprindo Roy Nicholas Mandey saat konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Roy menuturkan konsumsi dari LNPRT yang merupakan partai politik politik menjadi salah satu kontributor naiknya kinerja ritel. Namun penyelenggaraan Pemilu perlu dipastikan berjalan dengan kondusif karena akan turut mempengaruhi para investor.
“Jadi dengan kata lain ada kontribusi dari Pemilu untuk ritel dengan catatan kondusifnya Pemilu. Dalam tiga pekan ke depan kita akan pesta demokrasi, banyak investor wait and see. Semuanya sangat bergantung pada kondusifitas pesta demokrasi kita,” ucapnya.
Lebih lanjut Roy menyampaikan faktor lain yang turut mendorong kinerja ritel di 2024 adalah konsumsi pemerintah dan konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto.
Hal itu, disebutnya, perlu diiringi dengan keberhasilan pemerintah untuk menjaga ketersediaan pangan. Bila tidak terjaga karena terlena dengan pesta demokrasi, tentu akan berdampak pada stok cadangan pangan pemerintah.
Catatan lainnya adalah perlunya menjaga kebijakan populis, fiskal dan moneter. Jika BI rate diputuskan menjadi 6 persen, maka Roy memprediksi besaran bunga akan naik karena perbankan akan turut akan menaikkan suku bunga yang kemudian akan berdampak pada penurunan daya beli.
Begitu juga dengan dampak dari ketegangan geopolitik yang masih belum mereda di awal 2024 ini. Salah satu yang dinilai Aprindo harus diantisipasi adalah harga minyak mentah dunia yang naik menjadi 75-79 dolar AS per barel.
“Kalau terjadi keramaian lagi geopolitik selain Gaza, Yaman, maka bisa diprediksi harga minyak per barel bisa di atas 100 dolar AS. Kalau sampai 150 dolar AS itu perfect storm karena pasti akan menaikkan harga makanan akibat kenaikan biaya logistik,” tambahnya.
Baca juga: Peritel: Pemerintah harus melibatkan masyarakat awasi impor ilegal
Baca juga: APRINDO dan ADUPI dukung langkah-langkah kurangi sampah plastik
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2024