Kami menyambut baik adanya penundaan penerapan pajak hiburan 40-75 persen.
Palembang (ANTARA) - Pengurus Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Sumatera Selatan (Sumsel) menunggu petunjuk pemerintah kabupaten/kota setempat terkait penundaan pemberlakuan pajak hiburan yang ditetapkan Kementerian Keuangan mulai 15 Januari 2024.
"Kami menyambut baik adanya penundaan penerapan pajak hiburan 40-75 persen, karena sangat membebani anggota yang bergerak di bidang usaha hiburan seperti karaoke, klub malam, bar, mandi uap (spa), dan diskotek," kata Ketua GIPI Sumsel Herlan Aspiudin, di Palembang, Kamis.
Menurut dia, keputusan pemerintah untuk menunda kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan menjadi kabar baik bagi pelaku industri pariwisata yang mengelola sejumlah tempat hiburan.
Pemerintah sepakat untuk melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mengatur kenaikan pajak hiburan sambil menunggu hasil 'judicial review' yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Mudah-mudahan dalam waktu dekat pemda melalui Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) mengeluarkan petunjuk penundaan pemberlakuan pajak hiburan dan memberikan penjelasan teknis pembayaran pajak mengacu aturan lama," ujar Herlan.
Dia menjelaskan, belum tepat momentumnya pemerintah menaikkan pajak hiburan pada 2024, karena pelaku industri pariwisata baru mulai bangkit terpuruk dari COVID-19.
"Pelaku industri pariwisata terutama yang mengelola tempat hiburan seperti karaoke, bar, spa, dan diskotek ketika pandemi COVID-19 bisa dikatakan bangkrut karena nyaris tutup total, baru setahun terakhir mulai bangkit dengan modal pinjaman bank dan kini dibebankan pajak hiburan yang tinggi," katanya pula.
Untuk mendesak pemerintah meninjau ulang UU yang mengatur pemberlakuan tarif baru pajak hiburan, GIPI saat ini tengah mengajukan gugatan ke MK bersama asosiasi/organisasi pelaku industri pariwisata lainnya.
Gugatan pembatalan UU No. 1/2022 khususnya pada Pasal 58 ayat 2, karena dalam pasal tersebut tercatat tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap (spa) ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Gugatan tersebut diharapkan dikabulkan oleh hakim MK, karena dalam kondisi pariwisata yang tengah kembali bangkit usai terpuruk dampak pandemi COVID-19, pemerintah seharusnya memberikan kemudahan bukan malah mempersulit dengan pajak yang tinggi.
"Harusnya pajak hiburan diturunkan untuk memacu industri pariwisata. Hiburan mulai menjadi kebutuhan masyarakat, dengan pajak yang terjangkau dapat meningkatkan jumlah pengunjung/wisatawan ke tempat hiburan yang juga dapat meningkatkan penerimaan pajak serta pendapatan asli daerah (PAD)," ujar Herlan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Aufa Syahrizal menanggapi kenaikan pajak hiburan tidak terlalu berpengaruh pada sektor pariwisata.
"Tingginya pajak hiburan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan wisatawan, karena hiburan tidak hanya karaoke, spa, bar, dan diskotek, tetapi juga banyak hiburan lainnya seperti hiburan alam terbuka yang tidak kena pajak,” kata Aufa.
Wajar saja pelaku usaha keberatan naiknya pajak hiburan, karena dapat menurunkan jumlah pengunjung dan mengkhawatirkan kegiatan usahanya terpuruk kembali
“Berkurangnya pengunjung mengakibatkan omzet turun, mungkin itu yang dikhawatirkan, tapi kalau tingkat kunjungan tinggi malah menguntungkan mereka,” ujar Kadisbudpar Sumsel.
Baca juga: Luhut minta kenaikan pajak hiburan ditunda
Baca juga: PHRI mengajukan judicial review terkait ketetapan pajak hiburan
Pewarta: Yudi Abdullah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024