Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menetapkan komoditas strategis berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2021.

Mengacu pada peraturan presiden itu komoditas strategis terdiri atas beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.

Sebagian kalangan ada yang kemudian mempertanyakan, apa dasar dan pertimbangan bagi komoditas tertentu, seperti misalnya cabai dan dan bawang, ditetapkan sebagai komoditas strategis? Apakah karena kedua barang itu dapat memicu inflasi?

Sejak 1967 sampai sekarang tidak berubah, meskipun pola pangan berbeda, permintaan berbeda, sebagaimana pendapat Ketua Komisi Tetap Pengembangan Hortikultura Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Karen Tambayong.

Karen menyampaikan hal itu dalam sarasehan yang digagas Perhimpunan Hortikultura Indonesia (Perhorti) pada Sabtu, 6 Januari 2024.

Pendekatan dalam penentuan komoditas strategis itu ternyata berdasarkan faktor ekonomi. Sementara itu di sisi lain kasus tengkes atau stunting di Indonesia juga masih tinggi.

Di beberapa provinsi, seperti Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat, bahkan prevalensi tengkes mencapai 30 persen.

Menurut Badan Pusat Statistik di kedua provinsi itu kasus tengkes, masing-masing mencapai 35,5 persen dan 35 persen.

Penentuan pangan strategis itu bukan hanya berdasarkan pada aspek ekonomi, tetapi juga melihat kesehatan bangsa.

Jika Indonesia bisa ekspor, tetapi bangsa menjadi loyo, maka tidak akan ada pemimpin yang kuat. Karena itu, harus berimbang, pangan sehat untuk Indonesia itu menjadi nomor satu, sehingga sosialisasi dan pendampingan menjadi penting.

Pangan strategis itu juga bisa dikaitkan dengan upaya pencegahan atau penanganan tengkes. Hal itu karena dampak negatif tengkes pada 1.000 hari pertama kehidupan berisiko menghambat pertumbuhan fisik dan memicu kerentanan anak terhadap penyakit.

Selain itu tengkes juga menghambat perkembangan kognitif sekaligus berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak, sebagaimana dikutip dari Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada 2019.

Sejumlah kemungkinan yang mendorong stunting terjadi di negara kita, antara lain konsumsi karbohidrat terlalu banyak atau berkisar 128 kg per kapita per tahun, sehingga diperlukan aksi yang masif untuk diversifikasi pangan.

Di sisi lain konsumsi protein justru lebih tinggi daripada target yang 57 kg per kapita per tahun. Capaian konsumsi protein di negara kita mencapai 62 kg per kapita per tahun.

Bandingkan dengan target konsumsi buah dan sayuran (bagian dari hortikultura) 286 gram per hari, sedangkan capaiannya hanya 237 gram per kapita per hari. Masyarakat menyadari pentingnya pola makan sehat, mereka mengurangi karbohidrat. Selain itu, kita sadar bahwa mengonsumsi buah dan sayuran lebih banyak itu sangat penting.

Untuk itu para peneliti harus membuat banyak riset untuk mendiversifikasi pangan dan melakukan pemetaan protein karena luasnya wilayah Indonesia.

Bahkan, peta pangan berbasis lokalitas itu harus dan wajib. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh para periset. Di Sumatera, pola makan berbeda dengan masyarakat di wilayah timur.

Berapa kebutuhan karbohidrat manusia Indonesia? Jawaban atas pertanyaan itu berkaitan dengan produksi padi, sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor beras terlalu besar.

Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia memiliki kekayaan buah tropis. Karena itu kita tak perlu impor jeruk. Mengapa kita harus mengonsumsi buah dari luar, padahal kemampuan produksi kita cukup banyak, demikian juga dengan sayuran.

Sebagai contoh, daun melinjo dan bayam lokal sebagai pangan alternatif sangat berlimpah di negeri ini. Pengembangan hortikultura di Indonesia bukan berarti tidak memberikan kesempatan benih impor, tetapi kita juga harus mengembangkan komoditas lokal.

Jalan keluarnya, penangkaran dengan sayur impor. Lebih baik menanam sayuran di Indonesia daripada mengimpor wortel dari Australia.

Indonesia harus memanfaatkan benih dari luar negeri untuk meningkatkan produksi. Hal itu untuk membentuk manusia Indonesia dengan pangan lokal. Kolaborasi sebuah keharusan untuk kemajuan hortikultura.


Kolaborasi riset

Hal serupa disampaikan Ketua Umum Perhorti Prof Dr Dewi Sukma, MSi, saat pengukuhan pengurus pusat Perhorti periode 2024—2027. Sukma mengatakan, perlunya kolaborasi riset antara perguruan tinggi dan swasta agar menghasilkan teknologi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Saat ini para peneliti belum terhubung dengan industri. Selain itu dukungan pemerintah juga masih sangat penting.

Menurut guru besar Institut Pertanian Bogor Prof Dr Anas D Susila, MSi, perlu ada persamaan pemahaman mengenai definisi dan filosofi hortikultura bagi seluruh pemangku kepentingan hortikultura.

Perhorti bisa melakukan safari atau "road show" ke seluruh komisariat daerah untuk penyamaan persepsi tentang "horticultue provides food for body and soul" (hortikultura menyediakan pangan untuk tubuh juga jiwa).

Pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian merilis peta jalan "Making Indonesia 4.0" pada 2018.

Kebijakan itu merupakan strategi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, asosiasi industri, pelaku usaha, penyedia teknologi, lembaga riset, dan pendidikan.

Pemerintah memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi. Prinsipnya "Making Indonesia 4.0" harus mendorong tindakan sigap demi mencapai aspirasi jangka panjang untuk setiap sektor prioritas.

Sampai kini peta jalan itu belum dioptimalkan, sehingga perlu upaya untuk mengakselerasi agar segera terwujud dampaknya dan dapat diimplementasikan.


*) Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pakuan dan Ketua 3 Perhimpunan Hortikultura Indonesia.

Copyright © ANTARA 2024