Washington (ANTARA) - Gedung Putih pada Selasa (16/1) menyatakan bahwa keputusan Israel untuk menghentikan operasi darat "berintensitas-tinggi" di Jalur Gaza utara adalah "langkah positif".
"Penarikan pasukan militer secara penuh dari Gaza, kami kira merupakan langkah maju positif, dalam rangka melakukan operasi dengan intensitas yang lebih rendah,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby kepada wartawan.
"Kami berharap bahwa penarikan pasukan ini dan pengumuman transisi yang telah mereka lakukan akan memungkinkan orang-orang untuk kembali ke Gaza utara dan mengurangi tekanan di selatan, khususnya di sekitar Khan Younis,” lanjutnya.
Kirby mengatakan pemerintahan Biden saat ini sedang menyiapkan peningkatan bantuan kemanusiaan bagi penduduk Gaza "serta membantu mengatur kondisi bagi penduduk untuk kembali ke Gaza utara, di mana PBB berharap dapat melakukan misi penilaian dalam beberapa pekan mendatang.”
Menteri Pertahanan Israel Yoav Galant mengumumkan transisi itu pada Senin, mengatakan bahwa militer sekarang akan melakukan apa yang dia gambarkan sebagai operasi berintensitas-rendah di Gaza utara.
Baca juga: PBB peringatkan risiko terjadinya "kejahatan yang kejam" di Gaza
Hanya beberapa saat sejak pengumuman oleh Galant, militer Israel melakukan penyerbuan baru ke beberapa wilayah di Jalur Gaza utara pada Selasa.
Menurut wartawan Anadolu, pasukan Israel telah maju ke bagian utara Kota Gaza dan wilayah timur kota Jabalia dan bagian barat Beit Hanoun dan Beit Lahia.
Israel melancarkan serangan meluas di Gaza sebagai balasan atas serangan lintas batas kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober yang disebut menewaskan 1.200 orang, sedangkan ratusan lainnya dibawa ke wilayah kantung pesisir itu untuk disandera.
Sekitar separuh dari sandera itu telah dibebaskan dalam rangkaian pertukaran tahanan dengan Hamas pada November lalu.
Kirby mengatakan Amerika Serikat terlibat "sangat serius, dan dalam "pembahasan intensif" di Qatar untuk dapat membebaskan sandera yang masih ditawan.
"Kami berharap ini dapat berhasil, dan segera, karena masih ada sekitar 140 sandera yang ditawan," jelas Kirby.
Baca juga: Jaksa ICC seru Israel hormati hukum internasional
Di Gaza, setidaknya 24.285 warga Palestina tewas dan 61.154 lainnya terluka di tengah perang yang sedang berlangsung di Israel, sekitar dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak.
Sekitar 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara diperkirakan 60 persen infrastruktur di wilayah kantong tersebut rusak atau hancur, menurut PBB.
Selain itu, disebutkan pula bahwa terdapat lebih dari 65.000 unit rumah yang telah hancur.
Pelapor PBB mengenai Palestina mengatakan pada Selasa, bahwa dunia sedang menyaksikan "kelaparan massal" di Gaza, di mana lebih dari separuh dari 2,3 juta warga Palestina di wilayah tersebut berada dalam kondisi rawan pangan akibat blokade dan pemboman yang terus dilakukan Israel.
“Saya tidak pernah berpikir kita akan menyaksikan kelaparan massal sebesar ini terjadi di abad ke-21. Namun, inilah yang terjadi di Gaza, setelah 100 hari pemboman, dengan makanan, bahan bakar dan air yang diperbolehkan masuk tidak mencukupi,” kata Francesca Albanese pada X.
“Anak-anak sekarat terlebih dahulu. Orang dewasa akan menyusul. Di depan mata kita," tulisnya.
Baca juga: Saksi mata ungkap bagaimana Israel bantai warga Gaza di sekolah Shadia
Baca juga: Bagaimana perlakuan tentara Israel terhadap tahanan asal Gaza?
Sumber: Anadolu
Penerjemah: Yoanita Hastryka Djohan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024