Jakarta (ANTARA) - Bagi sebagian orang, hidup di perkotaan seperti Jakarta kerap melekat dengan gambaran hari-hari yang dipenuhi oleh hiruk-pikuk pekerjaan serta kemacetan. Jalanan selalu dipenuhi oleh kendaraan yang berlomba untuk tiba ke tempat tujuan secepatnya.

Bahkan, ilmuwan sastra Indonesia Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu esainya “Menjadi Tua di Jakarta” menggambarkan menua di Jakarta sebagai suatu hal yang mengerikan.

"Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa."

Dengan kesibukan yang “menghantui” warga Kota Jakarta itu, ruang publik, terutama ruang terbuka hijau, memiliki nilai penting bagi warga untuk sejenak keluar dari segala kesemrawutan kota.

Seperti dikemukakan pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga, ruang publik, terutama ruang terbuka hijau berperan sebagai paru-paru kota sekaligus surga bagi kehidupan warga kota.

Ruang tersebut dapat dimanfaatkan untuk beragam aktivitas melepas lelah dan penat akibat kesibukan pekerjaan dan rutinitas harian. Warga dapat melepas penat seperti dengan berolahraga ataupun berinteraksi dengan warga lainnya. Dengan demikian, warga dapat menjadi lebih sehat secara jasmani dan rohani.

Bahkan, ruang publik, terutama dalam bentuk ruang terbuka hijau dapat menjadi wadah bagi remaja melampiaskan energi positifnya sehingga dapat pula berperan mencegah terjadinya tawuran.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pun sejauh ini telah menghadirkan sejumlah ruang publik sebagai upaya agar warga ibukota bisa melepas kepenatan akibat kesibukan sehari-hari.

Ruang publik diharapkan mampu menjadi oase atau tempat yang menyenangkan di tengah-tengah suasana yang serba kalut dan tidak menyenangkan, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Bidang Pengendalian Ruang, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (CKTRP) Provinsi DKI Jakarta Bayu Aji.

Ruang publik menjadi ruang pelepasan stres dan mengekspresikan diri karena di rumah maupun di kantor mereka tidak bisa melakukannya.

Bayu menjelaskan terdapat sejumlah unsur yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam membangun sebuah ruang publik yang layak. Di antaranya adalah unsur aksesibilitas.

Semakin mudah warga untuk menjangkaunya, semakin layak suatu tempat untuk dijadikan ruang publik. Ruang publik yang layak, harusnya berada di dekat daerah perkantoran dan transportasi umum.

Dengan demikian, masyarakat yang penat akibat pekerjaan menumpuk dapat langsung menuju ruang publik tersebut untuk melepas penatnya sebelum pulang ke rumah.

Contoh ruang publik yang memenuhi kriteria ini adalah kawasan Dukuh Atas. Tempat itu sempat menjadi lokasi kegiatan fenomenal Citayam Fashion Week. Di Citayam Fashion Week, siapa pun bebas mengekspresikan dirinya melalui pakaian yang mereka padu-padankan sendiri.

Salah satu faktor yang membuat Citayam Fashion Week sempat begitu populer pada tahun 2022 adalah lokasinya yang strategis.

Sebagai kawasan berorientasi transit yang memfasilitasi perpindahan orang pada sejumlah moda transportasi umum yang berbeda, masyarakat menjadi begitu mudah untuk menuju ke Dukuh Atas.

“Aspek aksesibilitasnya bagus, mereka mengeskpresikan dirinya di sana. Fenomena ini (Citayam Fashion Week di Dukuh Atas) menurut saya menunjukkan bahwa semua warga, terutama warga DKI Jakarta, pasti membutuhkan ruang publik yang layak untuk dikunjungi,” ujar Bayu.

Meskipun begitu, fenomena Citayam Fashion Week tidak berlangsung dalam jangka waktu panjang. Kemacetan yang timbul akibat kegiatan tersebut membuat Citayam Fashion Week diberhentikan.

Ini menjadi pelajaran bahwa selain aspek aksesibilitas, ke depannya pembangunan ruang publik akan diupayakan benar-benar tidak menimbulkan dampak negatif, seperti kemacetan yang mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar.

Kedua, ruang publik yang layak juga patut memenuhi unsur inklusif, yaitu menjadi lokasi yang mengedepankan nilai kesetaraan. Itu berarti di ruang publik setiap pengunjungnya akan merasa setara tanpa perbedaan kasta.

Salah satu ruang publik yang memenuhi unsur inklusif adalah Gang Gloria. Gang yang terletak di kawasan Glodok, Jakarta Barat itu mencerminkan unsur inklusif karena semua warga tanpa merasa berbeda dapat menikmati beragam kuliner dari para pedagang kaki lima.

Bahkan, Gang Gloria merupakan salah satu ruang publik yang inovatif karena berhasil memanfaatkan ruang sempit menjadi tempat warga melepas penat dengan menyantap beragam makanan.

Ketiga, ada pula unsur keamanan, yakni pengunjung harus merasa keamanannya terjaga di ruang publik yang mereka kunjungi.

Berikutnya, ruang publik yang layak juga sepatutnya memberikan ruang untuk para pengunjung berinteraksi dan berekspresi.

Sejauh ini, Pemerintah DKI Jakarta telah berupaya menghadirkan ruang publik, termasuk ruang terbuka hijau. Di antaranya, Plaza Kalibaru, Jakata Utara; Plaza Lapangan Banteng, Jakarta Pusat; Pameran Flona, Jakarta Pusat; Taman Tribeca Central Park, Jakarta Barat; Jalur Hijau Banjir Kanal Timur, Jakarta Timur; Taman Sungai Bambu, Jakarta Utara; Terowongan Kendal, Jakarta Pusat; Taman Sambas Asri, Jakarta Selatan; Gelora Bung Karno, Jakarta Selatan; dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Dengan demikian, warga Jakarta memiliki beragam pilihan untuk dikunjungi dalam rangka bersantai, menghilangkan penat, lelah, bahkan dapat pula menjadi sarana untuk membuat jiwa mereka menjadi lebih tenang.

Keberadaan ruang publik menghadirkan secercah harapan bahwa menjadi tua di Jakarta tidak semengerikan menua bersama pekerjaan yang menumpuk dan kemacetan jalan.

Baca juga: Pemilih muda harap presiden terpilih terus buka ruang diskusi publik
Baca juga: Kemenkominfo kawal pemilu damai via komunikasi santun di ruang publik
Baca juga: Menteri PPPA : Penting ruang publik aman bagi perempuan

Editor: Sri Haryati
Copyright © ANTARA 2024