Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan Prof. Dr. dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG, Subsp.KFm (K), mengimbau ibu hamil untuk mengontrol konsumsi hati sebagai sumber zat besi pada awal kehamilan karena tinggi kandungan vitamin A.
“Pada ibu hamil makan hati harus benar-benar dikontrol karena kadar retinoid atau vitamin A-nya sangat tinggi di hati, kalau melebihi ambang batas atas punya resiko untuk memberi kemungkinan cacat pada janinnya kalau di awal kehamilan,” kata Noroyono, yang berpraktik di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, dalam diskusi kesehatan yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Hati, baik hati sapi maupun kambing. menjadi sumber yang memiliki kandungan zat besi lebih tinggi dari daging merah. Selain pada daging merah dan hati, ibu hamil juga bisa melengkapi asupan besi dengan makan makanan seimbang yang terdiri dari karbohidrat, protein, sayur maupun kacang-kacangan agar terhindar dari anemia akibat kekurangan zat besi atau defisiensi besi.
Baca juga: Anemia pada ibu hamil dapat pengaruhi kecerdasan anak yang dilahirkan
“Ibu hamil kenapa rentan defisiensi besi karena untuk membangun janin itu sendiri membutuhkan besi. Sekarang, kan, nutrisi tidak hanya banyak-banyakan, tapi, seimbang. Jadi, dia juga membutuhkan karbohidrat, protein, lemak, dia juga membutuhkan mineral dan vitamin. Nggak bisa hanya sayur,” kata Noroyono.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, Noroyono mengatakan angka anemia pada kehamilan mencapai 48,9 persen hampir dan 60-70 persen penyebab anemia adalah defisiensi besi. Gejala awal yang bisa diwaspadai pada ibu hamil yang mengalami anemia defisiensi besi adalah lebih lemas, dan reaksi pada otak yang melambat, adalah beberapa kemungkinan terjadinya anemia.
Jika ada tanda dan gejala itu, Noroyono menyarankan untuk dibuktikan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin.
Zat besi, selain digunakan untuk membentuk eritrosit (sel darah merah) dalam hemoglobin, juga dipakai untuk membuat tenaga. Zat besi sendiri adalah salah satu bahan untuk membentuk neurotransmitter seperti serotonin, zat yang dipakai untuk berpikir dan bereaksi.
Noroyono mengatakan risiko jika ibu hamil kekurangan zat besi dapat memengaruhi pertumbuhan besar atau kecilnya janin karena zat tersebut juga berhubungan dengan bahan pembentukan tiroid. Kadar zat besi dalam darah juga dibutuhkan untuk mengikat oksigen dan karbon dioksida yang diperlukan untuk oksigen pada janin.
“Besi berhubungan dengan pembentukan tenaga, besi berhubungan dengan pembentukan neurotransmitter untuk saraf. Besi juga berhubungan dengan tiroid dan paratiroid maka berhubungan juga dengan insulin atau untuk tumbuh kembang bayi. Jadi, kekurangan besi dampaknya banyak sekali,” jelasnya.
Baca juga: Dokter: Cegah anemia pada ibu hamil dengan makanan kaya zat besi
Kekurangan zat besi juga bisa memengaruhi post partum atau masa setelah kehamilan. Saat persalinan, perempuan yang kekurangan zat besi tidak memiliki banyak tenaga sehingga proses akan lebih panjang.
Kekurangan zat besi juga menimbulkan risiko perdarahan karena kontraksi rahim tidak memadai. Perdarahan yang sangat banyak saat persalinan bisa menyebabkan kematian.
Noroyono mengimbau perempuan yang sedang hami trimester pertama perlu memeriksakan diri apakah ada kemungkinan anemia melalui pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL). Pemeriksaan itu meliputi hemoglobin, hematokrit, lekosit, trombosit dan pemeriksaan faktor nutrisi lainnya agar tercipta kehamilan yang baik dan janin dapat tumbuh sehat.
Baca juga: Kemenkes: Jaga ibu hamil agar tidak alami anemia untuk cegah stunting
Baca juga: Seberapa umum kejadian anemia defisiensi besi di Indonesia?
Baca juga: Pakar gizi ingatkan wanita hamil perlu makan beragam buah
Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2024