Denpasar (ANTARA News) - Mohamad Cholily alias Hanif alis Yahya Antony (28) yang didakwa ambil bagian sejak tahap perencanaan dari aksi peledakan bom di Jimbaran dan Kuta, 1 Oktober 2005, kembali "berkoar" atas kasus penganiayaan yang dilakukan polisi atas dirinya.
Cholily kembali berceritera atas aksi kekerasan yang pernah dialaminya, di depan sidang Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa.
Pria lulusan S-1 jurusan teknik sipil Universitas Negeri Malang (UNM) itu mengaku telah disiksa dan dianiaya dengan sangat keji oleh oknum petugas yang menangkap dan memeriksanya.
Kekejian aparat penegak hukum tersebut, oleh Cholily kemudian ditulis dalam lembaran kertas, kemudian diserahkan kepada tim penasehat hukum (PH) yang mendapinginya belakangan, yakni setelah aksi penganiayaan terjadi antara tanggal 9 - 16 Nopember 2005.
Cholily yang didampingi tim PH terdiri atas Bambang Trianto SH dan Mujito Rachman SH, mengaku dirinya ditangkap polisi pada 9 Nopember 2005 di Genuk Semarang, kemudian mengalami pemeriksaan dan penahanan oleh polisi secara berpindah-pindah, mulai dari Semarang terus ke Malang, balik lagi ke Semarang, lantas ke Surabaya.
"Selama dibawa berputar-putar ke sejumlah kota tersebut sejak 9 - 16 Nopember 2005, nyaris tiada hari tanpa penganiayaan yang saya alami," kata Cholily.
Seperti yang tertulis dalam surat, Cholily tidak saja sempat dipukul dan ditampar dengan tangan kosong, tetapi juga disulut korek api, ulu hati ditonjok benda keras, serta leher diikat hingga sempat tidak bisa bernafas.
Tidak hanya itu, Cholily juga mengaku bagian kemaluannya sempat dipencet dan ditarik dengan sangat kuat hingga menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat, serta harus bertelanjang bulat.
"Dalam keadaan mata ditutup lakban, saya ditelanjangi dan diintrogasi dengan beberapa bentuk pertanyaan. Karena waktunya cukup lama, saya kemudian minta permisi untuk buang air kecil," ucapnya.
Ketika mau buang air kecil itulah, Cholily mengaku bahwa lakban yang sempat dipakai menutup matanya baru diijinkan dibuka.
"Sialannya, begitu mata saya dapat melihat, ternyata di ruangan tempat saya diperiksa juga ada seorang wanita," kata Cholily dengan nada melemah.
"Apakah wanita yang ada di ruang itu polisi atau bukan?" tanya Mujito Rachman di muka sidang. "Saya tidak tahu pak, sebab mereka semuanya tidak memakai baju seragam dinas," jawab Cholily.
Namun demikian, begitu penahanannya dipindahkan ke Polda Bali, terdakwa mengaku tak pernah lagi mendapatkan bentuk-bentuk penyiksaan.
Usai memeriksa terdakwa, majelis hakim menunda persidangan hingga sepekan mendatang guna mendengarkan nota tuntutan hukuman dari jaksa.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006