Jika terpapar dalam jangka waktu lama, masyarakat dapat mengalami stres oksidatif

Depok (ANTARA) - Peneliti Universitas Indonesia (UI) menjelaskan hasil penelitian mengenai bahaya logam timbal serta dampak buruknya bagi kesehatan masyarakat, terutama pada anak-anak.

Direktur IMERI-Fakultas Kedokteran (FK) UI Prof dr Badriul Hegar PhD Sp A(K) dalam keterangannya di Depok Kamis mengatakan, penelitian ini hasil dari yang dialami warga pada lima desa di Indonesia, yakni Desa Kadu Jaya (Tangerang), Desa Cinangka (Bogor), Desa Cinangneng (Bogor), Desa Pesarean (Tegal), dan Desa Dupak (Surabaya).

Dia menjelaskan bahwa riset yang dilakukan pada Mei-Agustus 2023 tersebut merupakan kolaborasi antara Occupational and Environmental Health Research Center (OEHRC) IMERI (FK) UI dan Yayasan Pure Earth Indonesia.

Riset ini melibatkan sivitas akademika UI, yakni dr Marinda Asiah Nuril Haya M Med Sci Ph D; dr M. Ilyas Sp Ok Subsp ToksiKO (K); dr Ade Mutiara MKK Sp Ok; dr Ari Prayogo Sp A; dr Dewi Yunia F Sp Ok; dan peneliti dari Yayasan Pure Earth Indonesia, Nickolaus Hariojati.

Menurut Prof Badriul, penelitian mengenai pajanan timbal itu penting dilakukan karena timbal merupakan neurotoksin berbahaya yang paparannya dapat mengakibatkan masalah kesehatan, seperti cacat lahir, kerusakan otak, kardiovaskular, dan penyakit ginjal.

"Jika terpapar dalam jangka waktu lama, masyarakat dapat mengalami stres oksidatif. Oleh sebab itu, tantangan ke depannya adalah bagaimana ilmu kedokteran komunitas dapat merancang strategi preventif dan promotif untuk menanggulangi dan mengurangi paparan timbal," katanya.

Ia menjelaskan, WHO merekomendasikan Kadar Timbal Darah (KTD) 5 µg/dL sebagai penanda sumber paparan lingkungan yang perlu diwaspadai, sehingga disarankan agar KTD tidak melebihi angka tersebut. Sementara itu, 45 µg/dL merupakan batas KTD untuk pertimbangan pemberian terapi.

Kajian KTD pada anak-anak di lima desa di Pulau Jawa menunjukkan hampir 90 persen anak memiliki KTD melebihi batas rekomendasi WHO, dan 19 anak (3,4 persen) di antaranya membutuhkan terapi.

Kajian terhadap lebih dari 500 responden anak berusia 12-59 bulan menampilkan hasil bahwa dari anak yang memiliki KTD ≥ 20 µg/dL, sebanyak 34 persen mengalami anemia.

Sementara, anak dengan KTD ≥ 20 µg/dL yang disertai anemia, 14 persennya mengalami keterlambatan tumbuh kembang. Anak dengan KTD ≥ 20 µg/dL dan anemia berisiko 4 kali lipat mengalami keterlambatan tumbuh kembang.

Dalam kajian tersebut, peneliti mencari potensi sumber paparan dengan melakukan analisis tempat tinggal (home-based analysis).

Pengambilan sampel dilakukan untuk mengukur kandungan timbal pada tanah, cat tembok, debu, air, udara, bumbu masakan, alat masak, tempat tidur, pakaian, hingga mainan anak.

Hasilnya ditemukan bahwa tingginya KTD anak dipengaruhi oleh bapak atau orang tua yang memiliki KTD tinggi serta cemaran timbal pada tanah di lokasi bermain anak. Cemaran ini dipengaruhi oleh aktivitas industri, salah satunya adalah daur ulang aki bekas yang tidak sesuai standar.

Guru Besar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI Prof dr Muchtaruddin Mansyur MS Sp Ok (K) PhD yang turut terlibat dalam penelitian ini, menyampaikan bahwa kadar timbal darah pada anak yang ditemukan dalam penelitian merupakan keadaan yang mendesak untuk ditangani.

"Keterlambatan penanganan akan memengaruhi kualitas generasi mendatang karena tumbuh kembang anak terhambat serta angka penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya melonjak. Penguatan kapasitas sektor kesehatan untuk mengenal dan mencegah pajanan timbal lingkungan serta dampak kesehatannya harus menjadi prioritas," katanya.

Pewarta: Feru Lantara
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024