Mengamankan penerimaan pajak untuk pembangunan semestinya memang harus menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat mesti lebih proaktif, jujur, dan antusiastis membayar pajak.
Dwi Matani, ekonom dan pengajar senior Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, bersepakat dengan pandangan ini. Dia bahkan mengatakan membayar pajak adalah kewajiban yang menempel pada setiap warga negara. Dia mengilustrasikan kewajiban ini sangat instrumental bagi pembangunan bangsa sampai-sampai wajib disosialisaikan sejak usia dini.
"Harusnya anak-anak TK (taman kanak-kanak) sudah diajarkan bahwa berjuang untuk negeri itu adalah juga dengan menjadi pembayar pajak yang baik. Untuk mendapatkan fasilitas umum yang baik maka warga harus patuh membayar pajak," kata dia.
Tetapi Dwi menekankan kewajiban itu harus resiprokal dengan otoritas atau pemerintah. Di mata dia, penyadaran warga negara akan pentingnya membayar pajak, harus disertai dengan akuntabilitas pemerintah dalam alokasi dan penggunaan anggaran.
Akuntabilitas ini sangat penting karena masyarakat belakangan segan membayar pajak karena maraknya korupsi penggunaan anggaran yang berasal dari pajak tersebut.
Alokasi anggaran yang tidak ditujukan untuk melayani masyarakat, penyediaan infrastruktur yang baik dan peningkatan kesejahteraan rakyat akan membuat masyarakat enggan membayar pajak. "Rakyat akan menganggap pajak sebagai beban, bukan bentuk partisipasi masyarakat untuk pembangunan," kata Dwi.
Menurut dia, konsistensi dan penegakan hukum pajak, peningkatan sistem pengelolaan pajak dan disiplin alokasi anggaran adalah prasyarat bagi meningkatnya partisipasi masyarakat dalam membayar pajak.
"Teladan dari pemimpin negara, pejabat pemerintah dan tokoh politik juga kunci dalam meningkatkan partisipasi membayar pajak." tegas Dwi.
Doktor akuntansi ini juga menganjurkan perbaikan terus menerus institusi pajak sehingga bisa terus optimal bekerja dan menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat dan wajib pajak.
Dia setuju dengan ide pengamanan penerimaan pajak yang memang dianggap penting untuk menumbuhkan kepercayaan itu, selain demi efektivitas penggunaan pajak. Masalahnya untuk pengamanan pajak itu tampaknya membutuhkan insentif lain, terutama dalam kerangka cost collection (biaya SDM dan operasional menagih pajak).
Dibandingkan dengan institusi pajak di negara lain, cost collection di Ditjen Pajak untuk mengamankan penerimaan negara ini hanya 0,5%, sedangkan negara lain bisa mencapai 3%. Dan Dwi sepakat dalam beberapa hal mengenai perlunya cost collection ditingkatkan, namun dia lebih menekankan sistem pajak berbasis IT terintegrasi yang disebutnya belum dimiliki Ditjen Pajak.
"Sepakat untuk meningkatkan cost collection, namun lebih baik peningkatan biaya pengembangan sistem berbasis IT," kata Dwi.
Menurut dia, sudah saatnya Ditjen Pajak memiliki sistem pajak yang canggih sehingga wajib pajak lebih mudah membayar pajak, sementara Ditjen Pajak sendiri mudah memonitor pembayaran pajak dari wajib pajak. Sistem ini juga membuat Ditjen Pajak dapat terhubung dengan data pihak lain guna memonitor pembayaran pajak.
Dwi melihat peningkatan SDM dan biaya administrasi lain seharusnya dilakukan dalam rangka mengembangkan infrastruktur IT. "Sistsem IT yang canggih memang mahal namun akan mengurangi biaya monitoring dan biaya administrasi jangka panjang," kata Dwi.
Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam mengamankan penerimaan pajak adalah sikap tegas terhadap wajib pajak yang cenderung mengakali kewajiban pajaknya.
Saat ini pun Ditjen Pajak memiliki program untuk memeriksakan secara khusus perusahaan yang terkait dengan pembayaran PPh Pasal 21 karena ada indikasi banyak perusahaan hanya menyetor 80-95% PPh Pasal 21 dari yang seharusnya disetor perusahaan-perusahaan tersebut.
Namun Dwi menilai istilah PPh 21 dalam pemahaman ini agak kurang tepat, karena lebih menyangkut PPh orang secara pribadi. Dia mengatakan, menurut regulasi baru, PPh atas pengusaha pribadi dengan omset kurang dari Rp4,8 miliar, harus dikenai PPh final 1 persen dari omsetnya. Regulasi ini tidak hanya untuk meningkatkan penerimaan pajak, namun juga untuk law enforcement dan mempermudah pembayaran pajak.
"Saat ini pelaksanaan pajak tidak adil karena pekerja dengan gaji lima juta rupiah harus membayar pajak namun banyak pengusaha dengan laba sepuluh juta rupiah per bulan tidak membayar pajak," kata Dwi. Untuk itu, dia menganggap regulasi baru akan mendorong semua masyarakat berpartisipasi membayar pajak.
Dwi juga setuju dengan pandangan bahwa demi mengamankan penerimaan pajak, maka efek jera harus ditingkatkan, dengan mengambil tindakan hukum tegas kepada pihak-pihak yang mengakali pajak.
Tapi Dwi mencatat bahwa kesetujuannya dengan pandangan ini terutama berlaku untuk pihak-pihak yang melanggar pajak dalam jumlah besar. "Artinya semua kasus pelanggaran pajak dalam jumlah material harus dikenakan sanksi dan dianggap sebagai koruptor," kata Dwi.
Hal kedua yang harus menjadi objek penegakan hukum adalah para pejabat publik. "Pastikan semua pejabat publik adalah pembayar pajak yang baik. Jika ada pejabat publik pajaknya tidak benar, maka mereka harus diberlakukan sama dengan koruptor," tegas Dwi.
Yang tak kalah pentingnya dalam kaitan ini adalah prilaku dan moral terpuji para penegak hukum. Mereka harus menegakkan law enforcement, tapi juga menciptakan law environment yang mendukung tegaknya hukum pajak. "Selama masyarakat menganggap penegak hukum pajak masih bisa dibayar dan dinegosiasi (diajak berkolusi), maka kepercayaan masyarakat kepada hukum, institusi pajak dan pemerintah pun akan runtuh," kata Dwi.
Hal itu semua adalah bagian dari upaya mengamankan penerimaan pajak. Untuk soal ini Ditjen Pajak sendiri menerapkan strategi pengamanan penerimaan pajak 2013, namun Dwi mengaku tak dapat mengevalusianya satu per satu.
Dia hanya menekankan bahwa setiap strategi harus dievaluasi secara komprehensif. "Misalnya penurunan tarif harapannya akan meningkatkan basis pajak, namun jika basis pajak tidak meningkat maka penerimaan juga tidak akan tercapai," demikian Dwi.
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013