Bamako (ANTARA News) - Ibrahim Boubacar Keita menang dalam pemilihan presiden Mali dengan memperoleh 77,61 persen suara, demikian diumumkan pemerintah, Kamis.
Dengan kemenangan itu, Keita memperoleh mandat kuat untuk melakukan reformasi luas di negara Afrika Barat yang diporakporandakan perang itu, lapor Reuters.
Pemungutan suara Minggu itu menandai peralihan kembali ke kekuasaan demokratis setelah kudeta militer pada Maret 2012 menjebloskan Mali ke dalam pergolakan yang membuat kelompok militan menguasai wilayah gurun utara.
Saingan Keita, Soumaila Cisse, hari Senin mengakui kekalahannya dalam pemilihan presiden itu.
Keita, seorang mantan perdana menteri, telah menyatakan, prioritas pertamanya adalah memperkuat perdamaian bersama separatis Tuareg.
Ia juga berjanji membasmi korupsi luas dan membangkitkan lagi ekonomi Mali yang terpuruk.
Jendral Moussa Sinko Coulibaly, menteri urusan administrasi wilayah, mengatakan, pemilih yang muncul dalam pemungutan suara Minggu sedikit turun menjadi 45,78 persen, dari jumlah sebelumnya 49 persen yang tercatat dalam babak pertama 28 Juli.
Sekitar 6.8 juta warga Mali terdaftar memiliki hak memberikan suara dalam pemilihan tersebut.
Pemilihan umum presiden itu dianggap sebagai langkah penting untuk mengembalikan stabilitas negara Afrika barat yang dilanda perang itu.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu sebelum mereka diusir oleh pasukan pimpinan Prancis pada tahun ini.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".
Pasukan Afrika barat di Mali membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli.
Penerjemah: Memet Suratmadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013