Presiden SBY dalam visi misinya ketika kampanye capres 2009 mengedepankan strategi pembangunan inklusif yaitu pemerataan akses dan aset pembangunan.
"Tetapi kenyataannya justru yang terjadi adalah pemusatan aset yang ditunjukkan oleh tingkat kesenjangan (gini ratio) yang semakin tinggi," kata Arif di Jakarta, Kamis.
Ia menilai, dari sisi aset, tahun 2004 ketika Presiden SBY baru mulai berkuasa angka gini ratio 0,32 dan 20 persen masyarakat berpendapatan tertinggi menguasai 40 persen pendapatan nasional.
"Kini gini ratio 0,41 dan 20 persen masyarakat berpenghasilan tertinggi menguasai 48 persen pendapatan nasional," kata Arif.
Dari sisi akses, tambahnya, juga terjadi penurunan karena pada tahun 2010 sebesar 1 persen pertumbuhan mampu membuka 567 ribu lapangan kerja baru, maka tahun 2012 berkurang hampir 300 persen yaitu menjadi 178 ribu lapangan kerja per 1 persen pertumbuhan.
Dari sisi lain pembangunan inklusif juga mensyaratkan adanya akses stabilitas ekonomi rumah tangga yang ditunjukkan oleh stabilitas harga kebutuhan pokok dasar masyarakat.
"Tetapi justru harga-harga tersebut meningkat dengat pesat malah ada yang mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan harga pada tahun 2009 seperti misalnya harga daging," kata Arif.
Kebijakan fiskal yang selama 5 tahun terakhir ini cenderung ekspansif yang ditunjukkan dengan defisit APBN yang semakin membesar dan utang yang meningkat ternyata semakin menjauhkan partisipasi masa rakyat dalam pembangunan.
"Untuk itu kebijakan fiskal perlu dikonsolidasikan kembali sesuai amanat konstitusi agar makna pembangunan inklusif yang pernah didengung-dengungkan itu bukanlah hanya jargon kampanye semata," ungkapnya.
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013