Jakarta (ANTARA News) - "Dari tanah kembali ke tanah… dari abu kembali ke abu…" Demikianlah kisah akhir perjalanan hidup seorang seniman, penghibur (entertainer) tiga masa, dan artis serba bisa, sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia, bernama Kris Biantoro.
Puluhan tahun dalam perjuangan melawan penyakit dan komplikasi ginjalnya, akhirnya dia harus menyatakan menyerah pada kehendak Penciptanya, di rumah pribadinya, Kompleks Bumi Permai Cibubur, Jakarta Timur, pada Selasa siang ini.
Dia menghembuskan nafas terakhir kali untuk selama-lamanya dalam keadaan duduk, di depan sangkar-sangkar burung klangenan kegemaran lelaki kelahiran Magelang, Jawa Tengah, pada 17 Maret 1938 ini.
Masa kejayaan program siaran hiburan TVRI pada pertengahan '70-an hingga '80-an. Mana Suka Siaran Niaga, adalah salah satu programa yang cukup laku ditonton walau isinya iklan 100 persen; maklum, belum ada alternatif stasiun televisi pada saat itu.
Kris Biantoro, sering tampil di layar kaca mengucapkan slogan salah satu sabun cuci ternama waktu itu. Bukan cuma mengucapkan, karena bahasa tubuh dan sorotan mata dari wajah dengan sisiran rambut rapinya sudah mampu menjadi duta sekaligus ikon tersendiri bagi publik.
Restoran Ramayana di Hotel Indonesia, juga masih basah dengan tapak-tapak kaki aktor serba bisa beristrikan perempuan Viet Nahm, Maria Nguyen Kim Dung. Maria dia jumpai saat menjadi seorang staf diplomat di Kedutaan Indonesia di Canberra. Jadi, Kris Biantoro muda sempat menjadi diplomat!
Restoran ini pada masa keemasannya menjadi arena pengesahan dan pengakuan kebolehan artis nusantara mana saja. Sebut: Ireng Maulana, Bubbby Chen, Jack Lesmana, Broery Pesolima, Titiek Puspa, Emilia Contessa, dan lain-lain.
Mereka tetap dikenang hingga saat ini, karena proses "seleksi alam" pada masa-masa itu masih alami. Yang terbaik, yang bertahan. Satu yang sedikit bertahan adalah Kris Biantoro. Dia juga membagi kebolehan dan pengalamannya menghibur pemirsa melalui sekolah pemandu acara.
"Merdeka…" dengan tangan menggenggam, wajah serius dan senyum yang susah diartikan. Cara dia mengucap salam saban berjumpa penggemar, membuka atau mengakhiri acara. Dia konsisten dengan gayanya itu.
Sebagai pejuang kemerdekaan, bukan gaya-gayaan semata jika dia sering tampil memakai seragam tentara perjuangan a'la Heiho, karena dia merasakan masa-masa sulit penjajahan Jepang dan dia sempat berjuang sebagai anak muda dalam barisan TKR bentukan eks Heiho itu.
Bicara Kris Biantoro, bicara penyakit ginjal karena dia termasuk pasien yang keras kepala. Apa saja yang dia dengar sebagai obat, langsung dia sikat.
Bahkan dia tuangkan pengalaman tentang ini dengan tujuan pasien lain tidak mengikuti jejaknya yang keliru itu. Ujung-ujungnya, dia kembali lagi ke dokter yang mendapati ginjalnya makin parah dan makin parah.
"Mungkinkah", lagu yang dia populerkan tentang kepergian kekasih untuk selamanya. Dia percaya segala sesuatunya mungkin, sampai Allah Tuhan menyatakan hal itu tidak mungkin lagi. Invianto-Henny dan Ceasefiarto-Adelina, kedua anak Kris-Maria serta dua cucu, Iyo dan Rafa mendampingi dia memerangi penyakitnya.
Mereka pula yang akan mengantar Kris Biantoro ke rumah dia yang baru selama-lamanya…
Mungkinkah, dan menjadi mungkin bagi Allah Tuhan untuk mengajak Kris Biantoro kembali kepada Dia...
Requiscat in Pace, Kris... beristirahatlah dalam damai...
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013