Magelang (ANTARA News) - Perempuan bernama Tini (45) itu berhasil melepaskan diri dari kerumuman warga yang akan mengambil air menggunakan botol plastik di sumber air Tlompak di antara tebing Gondang dengan Gintungan, di kawasan Gunung Merbabu.
Ia masukkan botol plastik bekas minuman bersoda yang masih ada label merek itu, ke tas pinggangnya.
Botol itu pun telah berisi air dari sumber Tlompak, tempat sekitar 700 warga menjalani tradisi Sungkem Tlompak di bawah dua tebing yang rimbun dengan pepohonan di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Perempuan yang warga Dusun Keditan, Desa Pogalan, Kecamatan Pakis, sekitar tujuh kilometer arah timur dari Dusun Gejayan itu, lalu ikut antre dengan warga lainnya untuk mencuci muka dari satu pancuran mata air lainnya di Tlompak.
"Setelah Lebaran pasti ikut, untuk ambil air di sini," katanya.
Dua perempuan Dusun Keditan, yang masing-masing wajahnya masih basah setelah mencuci muka di pancuran Tlompak, mendekati Tini untuk nimbrung, berbincang-bincang sejenak dengan Antara.
Air dari sumber itu disimpan di rumah mereka, antara lain untuk diminum saat sakit, seperti panas badan dan masuk angin, serta untuk disiram ke areal pertanian sayurannya agar beroleh panenan yang baik dan melimpah. Kawasan Gunung Merbabu sebagai areal pertanian hortikultura.
Mereka mengaku percaya air itu mendatangkan berkah penghidupan sehari-hari dan kesembuhan dari sakit.
Tradisi Sungkem Tlompak secara turun-temurun dilakoni warga Dusun Keditan di mata air yang terletak di Dusun Gejayan, lima hari setelah Lebaran (kalender Jawa, red), terhitung sejak malam takbiran.
Konon, pada masa lampau terjadi paceklik di dusun itu. Seorang sesepuh setempat mendapat wisik (bisikan) untuk berziarah ke Tlompak, tempat bersemayam pepunden yang dinamai Pangeran Singobarong dan Nyai Silemdalem.
Sebagai hasil ziarah itu, untuk melepaskan warga Keditan dari kehidupan yang sulit, termasuk bebas dari paceklik dan serangan penyakit, mereka wajib mementaskan kesenian tradisional di mata air Tlompak pada lima hari pascalebaran.
Tradisi itu mereka jalani hingga saat ini, dan bahkan warga dari dusun-dusun lainnya di kawasan Gunung Merbabu ikut serta dalam tradisi tersebut. Rombongan besar pelaku Sungkem Tlompak harus sudah tiba di Dusun Gejayan sebelum pukul 12.00 WIB.
Beberapa tahun lalu, pemerintah pusat membangun gapura dan jalan setapak berundak-undak dengan semen untuk menuju mata air Tlompak, sebagai bagian dari program peningkatan sarana dan prasarana umum di Dusun Gejayan.
Pada Sungkem Tlompak, Senin (12/8), mereka membawa para pelaku kesenian tradisional "Perjuritan Lombok Abang dan Lombok Ijo" atau "Campur Bawur" dengan dipimpin sesepuh warga setempat Sujak. Mereka diterima, Purwo Sugito, seorang juru kunci Tlompak di depan rumahnya, sebelum menuju mata air itu yang berjarak sekitar 300 meter dari Dusun Gejayan.
"Masyarakat Keditan ingin memohon berkah kepada Tuhan melalui kedatangan kepada pepunden untuk sungkem di Tlompak," kata Sujak dalam bahasa Jawa saat meminta izin kepada Purwo Sugito.
Purwo Sugito pun menyilakan masyarakat Keditan untuk datang ke Tlompak guna menjalani tradisi mereka.
"Selamat datang para putra Keditan, silakan datang ke Tlompak. Kami ikut mendukung dengan doa untuk anda semua menyampaikan keinginan baik kepada Tuhan melalui pepunden. Semoga terkabul," katanya.
Ia mengharapkan masyarakat mendapatkan berkat, berupa panenan melimpah, mudah mencari rezeki, bebas dari penyakit dan bencana, rukun berumah tangga, serta hidup tenteram.
Tabuhan alat musik tradisional pengiring tarian "Campur Bawur" terdengar sepanjang mereka berjalan kaki dari Dusun Gejayan menuju Tlompak. Mereka antara lain membawa sesaji berupa dua nasi tumpeng, bendera Merah Putih, dan dua songsong dalam ritual di bawah terik matahari serta langit berwarna biru di atas kawasan setempat.
Dua penari "Campur Bawur" yang memerankan sebagai "Pentul Papak" dan "Pentul Tembem," di sepanjang perjalanan itu, menari-nari sambil terdengar berbincang-bincang dengan suara keras, seakan mengungkapkan kegembiraan warga karena beroleh izin menjalani Sungkem Tlompak.
"Sido tekan iki ujung nang Tlompak. (Sudah sampai ini untuk silaturahim di Tlompak, red)," demikian salah satu dialog mereka dalam perjalanan ritual itu.
Dua grup kesenian rakyat Dusun Gejayan, masing-masing "Geculan Bocah" dan "Gupolo Gunung" turut dalam iring-iringan rombongan warga menuju Tlompak.
Mereka kemudian duduk bersila di depan mata air Tlompak, selama sekitar setengah jam, untuk memanjatkan doa dan membakar kemenyan yang dipimpin seorang juru kunci lainnya, Suradi.
"Punika dados air berkah kangge masyarakat, supados gesang ayem tentrem, gangsar pangupajiwa, tanenipun sae, sekolahipun lancar. (Air Tlompak dipercaya masyarakat sebagai berkah, untuk hidup tenteram, mudah mencari rezeki, pertanian yang baik, dan sekolah lancar,red.)`," kata Suradi yang juga anak laki-laki Purwo Sugito itu.
Setelah selesai ritual di Tlompak, mereka mementaskan tarian "Campur Bawur" baik di pelataran mata air itu maupun di depan rumah Purwo Sugito di Dusun Gejayan, sedangkan seniman petani Gejayan juga mementaskan "Geculan Bocah" dan "Gupolo Gunung". Selain itu, pentas tarian "Kembang Gunung" dan ketoprak pada malam hari di Padepokan Wargo Budoyo Gejayan.
Masyarakat datang dari berbagai dusun di sekitar Gejayan untuk menyaksikan pementasan sejumlah kesenian tradisional itu sebagai rangkaian tradisi Sungkem Tlompak.
Saat tiba waktu Sungkem Tlompak, telah menjadi saat tiba pula bagi masyarakat petani antardusun di kawasan Gunung Merbabu itu, untuk bersilaturahim dalam suasana berlebaran.
Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013