JAKARTA (ANTARA) - Pagi-pagi berjibaku mempersiapkan diri pergi ke kantor, di perjalanan penuh perjuangan menaklukkan kemacetan, tiba di kantor telah didera lelah dan baru mengawali kerja, itu cerita dulu. Kini sistem merdeka bekerja menganut fleksibilitas tinggi, bahkan bekerja bisa seraya wisata pada masa yang sama. Pengembara digital menjadi gaya bekerja mereka yang fasih teknologi dengan segala kesenangan dan tantangannya.
Hati siapa tak bahagia bila bekerja telah sedemikian leluasanya, bisa berkarya dari mana saja dan sambil melakukan apa saja yang kita suka. Tidak harus mandi pagi-pagi buta, jarang berjumpa sang surya karena pergi ke kantor sedari gelap dan pulang setelah gelap pula. Tidak perlu stres karena takut terlambat tiba di tempat kerja akibat kondisi jalanan yang serba tak terduga. Dan tak harus selalu bertemu dengan individu-individu perusak suasana hati di pagi hari. Inilah peradaban baru dunia kerja hikmah dari dua tahun terkurung karena corona.
Bermula dari bencana kesehatan pandemi COVID-19 pada medio Maret 2020 yang telah mengubah kebiasaan dan gaya kerja masyarakat dunia termasuk di Indonesia. Kebijakan pembatasan pergerakan sosial memunculkan istilah WFH (work from home) atau bekerja dari rumah. Pengalaman bahwa ternyata bekerja bisa dilakukan dari rumah dan tidak harus pergi ke kantor, menjadi kebiasaan baru dan alternatif menarik bagi warga kota yang malas bertarung dengan hiruk-pikuk keruwetan lalu lintas setiap pagi dan petang.
Sementara perusahaan pun diuntungkan dengan sistem kerja jarak jauh karena mengurangi biaya operasional kantor seperti listrik, air, dan lainnya. Apalagi perusahaan rintisan yang belum memiliki ketahanan finansial untuk mengoperasikan kantor dalam skala besar.
Menyenangkan bagi pekerja dan menguntungkan untuk perusahaan, membuat gaya kerja tanpa tatap muka yang mengutamakan produktivitas ketimbang kehadiran fisik, terus berlanjut usai pandemi hingga hari ini.
Praktik kerja jarak jauh tak lagi berkutat di rumah (WFH), setelah pandemi berlalu dan masyarakat kembali bebas melakukan pergerakan di luar, dimulailah era WFA (work from anywhere) yang memungkinkan kita bekerja dari mana saja. Dan turunan paling mutakhir dari sistem WFA adalah apa yang disebut digital nomad atau pengembara digital.
Di tanah air, maraknya pengembara digital dirangsang oleh program Work From Bali (WFB) yang dipelopori Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak kuartal pertama di tahun 2021. WFB sebagai kampanye pemulihan sektor pariwisata di Pulau Dewata itu mulanya digerakkan untuk para ASN juga swasta, namun justru lebih ramai peminat dari wisatawan asing. Tentu saja bisa berlama-lama di pulau nan elok sambil tetap produktif dan berpenghasilan sungguh suatu iming-iming yang menggoda.
Walhasil lokasi seperti kafe-kafe dengan wifi cepat, fasilitas ruang kerja bersama, dan bahkan vila atau resor yang menawarkan fasilitas kerja lengkap laris manis menjadi tempat mangkal para pekerja jarak jauh.
Mencermati tingginya minat para pengelana mancanegara Bekerja Dari Bali, Pemerintah mengakomodasi dengan meluncurkan visa B211 A pada September tahun lalu, yang mengizinkan warga asing bekerja secara daring hingga enam bulan tanpa membayar pajak. Mungkin para turis bergumam,”Nikmat mana lagi yang kau dustakan”.
Visa pengembara digital yang merupakan perpaduan visa liburan dengan visa kerja, memang memiliki efek berganda bagi sektor pariwisata di Bali, tapi bila terlalu bebas dan terbuka, yang membuat pulau kecil itu bersesakan oleh warga asing, maka kelestarian alam dan budaya setempat menjadi taruhannya.
Hamparan sawah-sawah dan jalur hijau di sejumlah wilayah di Bali kini telah menjelma menjadi deretan vila, resor, penginapan, karena permintaan tempat hunian sementara yang meningkat pesat. Apa yang kita terima (devisa) dengan apa yang kita korbankan (alam dan budaya) rasanya perlu dihitung ulang. Apalagi para pengembara digital di sana yang umumnya pekerja kreatif berpenghasilan cukup besar _di kisaran Rp30 juta – Rp50 juta/bulan) namun dibebaskan dari pajak.
Kesenangan dan tantangan
Sebagai sebuah peradaban baru, bekerja dari mana saja yang dilakoni para pengembara digital terkesan begitu menggiurkan dan menjadi gaya kerja ideal di era teknologi serta kegemaran orang untuk plesiran. Dengan menjadi pengembara digital, para pekerja tidak perlu mengajukan cuti khusus untuk liburan karena bekerja dan berlibur bisa dilakukan bersama.
Namun bekerja di mana saja dengan segala kesenangan yang menyertainya tidak segampang dan sesempurna yang dibayangkan banyak orang. Berikut gambaran antara hal-hal yang menyenangkan dan sejumlah tantangan para pengembara digital.
Kesenangan:
- Merdeka. Keleluasaan adalah keunggulan yang dimiliki para pengembara digital, fisiknya bisa bergerak dan berpindah ke mana saja sesuka hati sambil tetap bekerja dan berproduksi. Mereka bisa dikatakan sebagai penganut merdeka bekerja karena sebegitu bebasnya mengatur diri secara profesional tanpa pengawasan dan teguran atasan.
- Perkaya pergaulan. Bila hanya berkutat di kantor mungkin akan bertemu orang-orang itu saja yang membuat kalian tidak berkembang, karena hubungan yang datar dan dingin, serta langkanya apresiasi. Beredar di luaran membuatmu merasa lebih terbuka, selalu berjumpa dengan orang-orang baru yang mungkin beberapa di antaranya mengenali potensi terbaikmu dan tak segan menyampaikan penghargaan tanpa kendala gengsi dan jaim. Makin luas dan jauh peredaranmu, otomatis makin memperkaya pergaulan yang menjadikan hidupmu tambah seru.
- Kerja rasa wisata. Bisa bekerja di kafe, vila, pinggir pantai, hingga gunung. Berdasarkan unggahan aktivitas di media sosial, orang lain melihatnya sedang plesiran padahal dia seraya berkarya. Aktivitasnya tampak seru dan membuat iri teman-teman yang memantau pergerakannya. Bahkan ada yang penasaran dan tak habis pikir,”Orang ini kerjaannya jalan-jalan melulu, tidak bekerja, bisa begitu ya?”
- Petualang berpenghasilan. Bagi pekerja konvensional yang untuk berlibur harus mengambil cuti terlebih dahulu, tentau tidak bisa liburan terlalu lama. Bagi mereka liburan berarti meninggalkan pekerjaan dan menghabiskan uang karena terjadi pengeluaran ekstra tanpa ada pemasukan. Berbeda halnya dengan pengembara digital, kegiatan petualangannya tak mengkhawatirkan isi kantongnya karena tetap berpenghasilan selama berkelana bahkan bisa jadi pengembaraannya menjadi sumber inspirasi yang membuatnya kaya ide dan gagasan segar.
- Eksplorasi alam dan budaya. Bertebaranlah kalian di hamparan bumi pertiwi untuk mencumbui kemolekan alamnya yang luar biasa memesona. Konsep bekerja di mana saja memungkinkan anda mengeksplorasi negeri tercinta yang termasyhur akan keindahan alam dan kekayaan budayanya. Hidup adalah perjalanan, dengan banyak berkelana anda akan merasakan keagungan segala ciptaan Tuhan dan makin bersyukur dapat menikmati itu semua.
Tantangan:
- Keseimbangan. Tantangan pertama seorang pengembara digital adalah sulitnya menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional, karena keduanya berbaur tanpa ada batas yang jelas. Juga tak adanya batas antara waktu kerja dan istirahat, kecuali bagi mereka yang menerapkan kerja jarak jauh dengan tetap mengikuti jadwal kerja dari kantor pusat. Sedangkan mereka yang menggeluti kerja kreatif secara lepas, sulit menentukan batas waktu berkarya karena berkenaan dengan semangat, suasana hati, dan datangnya inspirasi.
- Konsentrasi. Raga berada di tempat wisata tetapi otak harus bekerja, konsentrasi menjadi terbelah dan menggarap tugas dengan tingkat kesadaran kurang penuh karena banyak godaan di sekitarnya. Untuk jenis pekerjaan yang membutuhkan fokus tentu menjadi tantangan melatih konsentrasi di manapun berada dan tidak mudah terganggu oleh lingkungan.
- Koneksi internet. Ke mana hendak bergerak dan berpindah harus memastikan ketersediaan koneksi internet yang bagus. Begitu pun ketika ingin migrasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, pastikan daerah yang ingin dituju memiliki jaringan internet. Tanpa sinyal, serasa kiamat dan pekerjaan bisa terbengkalai yang dapat memicu stres baru di lokasi penjelajahan.
- Ketahanan finansial. Memilih gaya kerja nomaden membutuhkan biaya yang fluktuatif, tergantung tingkat kemahalan di suatu daerah, wilayah, atau negara. Tanpa kalkulasi yang matang anda bisa telantar dan kelaparan di tengah pengembaraan.
Dalam konteks nomaden di dalam negeri, pelajari biaya hidup tiap-tiap daerah yang ingin disinggahi. Sedangkan untuk pengembara global akan lebih kompleks lagi, mereka harus mempelajari nilai mata uang terkini negara yang dituju, tingkat kemahalan biaya hidup di sana, menyiapkan ATM yang dapat diakses di luar negeri, atau uang tunai dalam mata uang negara tersebut, dan kebijakan perpajakannya serta hal-hal penting yang menunjang kenyamanan tinggal sejenak di negeri orang.
Pilih versimu
Pengembara digital sebagai gaya kerja kekinian cukup menggoda banyak orang untuk menjalaninya, namun perlu diingat bahwa tidak semua orang dan jenis pekerjaan dapat menerapkan pola nomaden. Kalian yang masih lajang tentu lebih terbuka kesempatan untuk mengembara ke mana saja, atau pasangan muda yang memiliki minat sama, dan pasangan lansia lincah pun bisa mencoba sensasi petualangan itu. Mereka yang sedikit terhambat semisal keluarga dengan anak-anak yang masih sekolah dan perlu perhatian ekstra, tentu tidak bisa anda tinggal kelayapan sesukanya.
Sedangkan dari jenis pekerjaan, umumnya kerja kreatif yang mengandalkan teknologi dapat dikerjakan secara fleksibel termasuk sambil bepergian. Namun untuk jenis pekerjaan yang mengharuskan keberadaan fisik dan tatap muka, berarti anda tak bisa menjadi pekerja kembara. Bila pun ingin sekali mengembara, anda dapat bertualang tipis-tipis dengan memanfaatkan waktu libur yang tersedia dan memilih destinasi yang tidak terlampau jauh.
Dengan mempertimbangkan segala peluang dan tantangannya, anda dapat memilih jenis pengembaraan yang sesuai dengan kondisi pribadi dan tidak harus seperti orang-orang.
Selamat mengembara seraya berkarya, semoga di luar sana akan diperjumpakan dengan orang-orang hebat yang paham betapa luar biasanya anda.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024