... kelas ekonomi kini benar-benar berbeda... sampai kapan segala fasilitas yang baik ini bisa tetap terjaga?... "
Jakarta (ANTARA News) - Mudik dan balik Lebaran tahun ini mungkin meninggalkan kesan mendalam. Apalagi bagi penumpang kereta api yang setelah sekian lama "terpaksa" harus naik kelas ekonomi lagi.

Pun begitu bagi saya, yang selama ini "menjauh" dari kereta ekonomi untuk tujuan jarak jauh.


Meskipun sudah pernah mendengar kelas ekonomi kereta api kini sudah lebih baik karena berpendingin udara dan tak ada lagi penumpang berdiri, tapi bayangan betapa repot naik kereta kelas masih tetap ada di dalam benak.

Namun Idul Fitri 1434 H rupanya benar-benar memberikan "pencerahan" bagi saya betapa sudah maju kelas ekonomi kereta api kita.


Lebaran tahun ini saya bersama istri mudik ke Tegal. Mudik menggunakan kelas bisnis Cirebon Ekspress jurusan Jakarta Gambir-Tegal, balik menggunakan kelas ekonomi Menoreh jurusan Semarang Tawang-Jakarta Pasar Senen.

Saat mendapat tiket balik kelas ekonomi itu, saya sempat heran kepada PT Kereta Api. Mengapa pemesanan tiket semua kelas dilayani sejak 90 hari sebelum keberangkatan? Kebijakan itu membuat saya yang untuk mudik dan balik harus menunggu kepastian jadwal kerja dari kantor, terpaksa membeli tiket mendekati waktu keberangkatan dengan risiko kehabisan tiket.

Namun, begitu saya melihat sendiri kereta Menoreh kelas ekonomi, "bayangan buruk" kualitas perjalanan di kelas ekonomi tetap menempel.


Tapi setelah berada di dalam gerbong kereta api kelas ekonomi itu, pendapat itu harus diubah betul-betul.

Kereta api kelas ekonomi kini benar-benar berbeda. Selain berpendingin udara, kursi-kursinya ternyata juga baru-baru. Beberapa bahkan masih ada yang terbungkus plasik.

Yang mengagetkan saya, ternyata di kereta ekonomi itu juga disediakan colokan listrik untuk mengisi ulang telepon seluler atau perangkat elektronik lainnya.

Fasilitas itu benar-benar tak saya bayangkan sebelumnya, meskipun saat mudik menggunakan kelas bisnis saya sempat kaget juga ada fasilitas tersebut di sana. Sempat beberapa waktu terkagum-kagum atas pembaruan layanan dan fasilitas itu, namun tetap saja ada yang sama: penumpang tidur di sepanjang lorong.

Saya yang saat itu membawa barang cukup banyak, sedikit repot juga saat berjalan di antara orang-orang yang tidur itu.

Melihat fasilitas-fasilitas tersebut, saya kemudian berpikir mungkin kurang lebih beginilah kondisi kereta api di negara-negara maju yang sering saya lihat di televisi, majalah, internet atau yang sering dibicarakan beberapa orang.


Fasilitas yang nyaman, meski di kelas ekonomi sekalipun.

Lalu tiba pertanyaan kepada diri sendiri: sampai kapan segala fasilitas yang baik ini bisa tetap terjaga? Membeli alias mengadakan infrastruktur dan instrumen publik, sangat mudah. Menjaga alias merawat? Itu perkara lain.

Di kereta api misalnya, dulu sering kita temui kaca yang retak. Tanya sana tanya sini, ternyata saya dapat informasi itu disebabkan orang-orang iseng yang melempari kereta api yang lewat dengan batu.


Harap diingat benar-benar, seluruh fasilitas itu dibeli memakai dana negara; memakai pajak kita bersama.

Memikirkan itu, saya teringat salah satu tulisan almarhum budayawan Umar Kayam yang pada medio 1980-1990-an memiliki kolom di surat kabar Kedaulatan Rakyat terbitan Yogyakarta, dan buku kumpulan kolomnya sempat saya baca.

Dalam salah satu tulisan, dikisahkan Pak Ageng --nama karakter Umar Kayam dalam kolom tersebut-- saat muda sering bolak-balik Yogyakarta-Jakarta menggunakan kereta api.


Saya lupa apa nama keretanya, yang pasti Pak Ageng menggambarkan betapa fasilitas di kereta tersebut sangat baik dan nyaman. Seiring dengan semakin banyak penerbangan pesawat terbang di rute Jakarta-Yogyakarta dan sebaliknya, Pak Ageng pun mulai meninggalkan kereta api tersebut.

Hingga suatu hari, Pak Ageng yang sedang ada urusan di Jakarta, ingin bernostalgia dengan pulang ke Yogyakarta menggunakan kereta api tersebut.


Namun, ternyata kenyamanan dan fasilitas bagus yang dia bayangkan tak lagi dia temui di kereta tersebut. Kereta itu menjadi jorok dan banyak fasilitasnya yang rusak.

Sesampai di Yogyakarta, Pak Ageng disambut Mister Rigen, pembantu setianya, yang ingin mendengar kisah nostalgia "ndoro"-nya itu.


Bukannya bercerita, Pak Ageng malah mengeluh dan minta dipijat karena kecapekan naik kereta "kebanggaannya".

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013