Jakarta (ANTARA) - Dalam diskusi arah politik luar negeri Calon Presiden Indonesia yang diadakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada awal November 2023, banyak duta besar negara sahabat yang antusias bertanya kepada Anies Baswedan, Prabowo Subianto, maupun Ganjar Pranowo.

Kenji Kanasugi, yang saat itu Dubes Jepang untuk Indonesia dan kini Dubes Jepang untuk China, bahkan selalu mengajukan pertanyaan, baik kepada Anies, Prabowo, maupun Ganjar.

Ada juga yang menanyakan pandangan calon presiden jika Donald Trump terpilih lagi menjadi Presiden Amerika Serikat pada Pemilu AS 2024, yang diyakini bakal mengubah kecenderungan politik luar negeri di banyak negara.

Semua antusias bertanya karena ingin mendapatkan setidaknya gambaran singkat mengenai visi kebijakan luar negeri Indonesia yang ditawarkan ketiga calon presiden.

Ini bukan saja akan menjadi bahan untuk pengambilan kebijakan nasional masing-masing, namun juga sebagai ekspektasi mereka terhadap posisi Indonesia lima tahun ke depan.

Pada 7 Januari nanti, ketiga calon presiden akan bertemu lagi dalam debat, yang di antaranya membahas kebijakan luar negeri.

Berpenduduk 279 juta jiwa atau keempat terbanyak di dunia, berluas wilayah 1,9 juta km persegi atau ke-14 terluas di dunia, dan memiliki produk domestik bruto (PDB) 1,41 triliun dolar AS atau ke-16 terbesar di dunia, Indonesia sulit diabaikan dunia.

Apalagi Indonesia juga menjadi memimpin kawasan, Asia Tenggara, dunia Islam dan lainnya, selain terletak di wilayah yang secara geografis sangat penting dari kaca mata politik dan ekonomi.

Suara Indonesia dalam berbagai forum internasional, mulai ASEAN sampai G20 dan BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan), dari OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) sampai PBB dan Konferensi Iklim Dunia (COP), memang tak selalu menjadi perhatian utama, tapi banyak negara yang ingin mendengar suara Indonesia dalam banyak isu global.

Hasrat itu makin besar ketika dunia dilanda berbagai konflik yang mengancam perdamaian, mulai perang Ukraina-Rusia yang akan memasuki tahun ketiga, sampai Perang Gaza yang di ambang menjadi perang kawasan, yang bisa membahayakan stabilitas global.

Ketegangan geopolitik di bentangan Indo-Pasifik menambah bobot perhatian dunia kepada Indonesia, yang berada di tengah persimpangan Indo-Pasifik.

Masih ada problema ekspansi Kecerdasan Buatan (AI) yang di satu sisi menawarkan kebaikan bagi umat manusia, tapi di sisi lain menjadi ancaman, di antaranya terhadap kesempatan kerja yang bisa menggerogoti pemerataan ekonomi untuk kemudian berdampak pada stabilitas politik.

AI sendiri menciptakan dilema moral, sampai sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan China, membuat haluan penggunaan AI.


Dunia berharap

Ada banyak petunjuk dunia mengharapkan peran Indonesia yang lebih jauh, contohnya, BRICS.

Dalam pertemuan terakhir mereka di Afrika Selatan pada 2023, BRICS sepakat memperluas keanggotaan.

Namun, salah satu anggotanya, yakni India, ingin ekspansi itu didasarkan kepada kriteria jelas, seperti postur PDB calon anggota, karena India ingin BRICS menjadi alternatif sejati untuk sistem ekonomi global yang tidak ada adil bagi "Global South".

India memang tak menyebutkan secara spesifik Indonesia, tapi dengan mengajukan syarat minimal PDB, India ingin negara-negara, seperti Indonesia, diprioritaskan bergabung dalam BRICS, bukan negara-negara yang dililit utang dengan neraca minus.

Hanya sedikit negara non-Barat yang memiliki PDB di atas 1 triliun dolar AS. Indonesia adalah salah satu dari yang sedikit itu.

Contoh isu lain yang mungkin menarik adalah kemungkinan berubahnya sistem hubungan internasional dan perdagangan global, jika Donald Trump terpilih lagi di AS, di mana dunia bisa kembali dalam suasana yang menolak multilateralisme.

Perang dagang antara China dan AS juga bisa terulang kembali, padahal situasi ini membuat dunia berlomba memproteksi diri, sehingga mengganggu perdagangan dan kerja sama internasional.

Juga menarik dilihat dari calon-calon presiden kita nanti adalah formula mereka dalam membantu mengatasi berbagai konflik yang mengancam perdamaian dunia.

Kasus Myanmar, misalnya. Cara Indonesia menawarkan formula perdamaian menjadi sangat penting, terutama demi stabilitas di negara itu yang bisa mendorong hal-hal positif terjadi, termasuk repatriasi warga Rohingya.

Jika proses repatriasi itu berlarut-larut, situasi pengungsian warga Rohingya di Bangladesh semakin buruk dan akhirnya mendorong pengungsi mencari tempat-tempat lain yang menawarkan kehidupan lebih baik, tapi menciptakan masalah di negara yang didatangi, termasuk Indonesia.

Juga penting melihat visi para calon presiden dalam kaitan konflik Israel-Palestina, termasuk bagaimana Indonesia bekerja sama dengan negara-negara di Timur Tengah, Uni Eropa, Rusia, China, dan Amerika Serikat, dalam mengakhiri konflik yang semakin panas dari hari ke hari itu.

Perspektif mereka dalam menawarkan formula untuk memupus skenario-skenario buruk yang bisa menimpa Palestina, terutama pemindahan paksa yang sudah dianjurkan para pemimpin garis keras Israel, juga menarik untuk dilihat.

Pun dalam konflik Laut China Selatan, di mana sebagian anggota ASEAN semakin keras berbenturan dengan China dalam klaim kedaulatan di wilayah itu.

Masih ada isu proliferasi senjata nuklir di Indo-Pasifik, akibat uji coba nuklir Korea Utara dan pakta nuklir AUKUS antara Australia, Inggris, dan AS.


Demi akuntabilitas politik

Debat ketiga ini juga berbicara tentang pertahanan dan keamanan. Untuk itu, doktrin dan rezim pertahanan apa yang akan diadopsi para calon presiden, akan menarik untuk disimak.

Apakah lautan Indonesia yang jauh lebih luas dari Singapura akan dijaga lebih banyak lagi oleh kapal laut dan kapal selam TNI Angkatan Laut kita? Pun dengan wilayah udara kita.

Ini juga tentang skenario perang masa depan di mana drone dan teknologi tinggi menjadi sangat penting dalam skenario perang masa depan, seperti ditunjukkan dalam Perang Ukraina-Rusia dan Perang Gaza.

Juga kebutuhan mendapatkan satelit militer untuk meningkatkan kesiagaan sistem pertahanan nasional dalam kaitan menjaga kedaulatan dan integritas teritorial.

Masih ada kesiapan pertahanan siber, apalagi banyak aktor negara dan nonnegara yang aktif melancarkan bombardemen disinformasi dan kejahatan siber yang bisa membuat stabilitas dan keutuhan nasional terancam.

Bagaimana pula dengan keselamatan energi nasional kita, setelah COP28 merekomendasikan upaya meninggalkan ketergantungan kepada energi fosil?

Memang cuma rekomendasi, tapi ini bisa menjadi tekanan untuk industri dan pemerintah di banyak negara untuk lebih ketat lagi dalam membuat standar produksi, baik bahan bakar fosil maupun wahana-wahana berbahan bakar fosil, yang akibatnya bisa multidmensional.

Yang paling penting di balik semua isu itu dan debat 7 Januari nanti adalah bagaimana para calon presiden menyikapi dinamika-dinamika global dan bagaimana visi mereka dalam memproyeksikan kapabilitas-kapabilitas nasional Indonesia di panggung hubungan internasional demi menggapai kepentingan nasional.

Ya, debat tak begitu mempengaruhi pilihan, mengingat sebagian besar pemilih sudah menentukan pilihannya.

Tapi debat tetap penting karena struktur demokrasi yang berfungsi dengan baik dan tata kelola politik yang kuat, membutuhkan informasi politik yang cukup untuk kuatnya akuntabilitas politisi terpilih, sehingga pengambilan keputusan politik menjadi lebih bertanggung jawab dan tepat sasaran.

Ini juga berkaitan dengan pematangan proses politik, sehingga politisi tak terus berlindung dalam demografi politik yang hanya dipandang dari kepentingan elektoral semata.

Selain itu, Indonesia perlu menciptakan iklim nasional yang rasional karena masalah-masalah nasional dan global, seperti invasi teknologi dalam kehidupan manusia, lebih membutuhkan akal sehat ketimbang sentimen.

Copyright © ANTARA 2024