Washington DC (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat George W Bush hari Jumat di Washington, DC, mengatakan akan mengirim kembali menteri luar negerinya, Condoleezza Rice ke Timur Tengah dalam upaya membujuk pemerintah Lebanon dan Israel agar menyetujui rencana perdamaian termasuk pengiriman pasukan multinasional ke wilayah perbatasan Libanon dan Israel. Sebelum menghadiri Forum Regional ASEAN (ARF) hari Jumat di Kuala Lumpur, Malaysia, Condoleezza Rice, telah terlebih dahulu mampir ke Libanon dalam upaya menyelesaikan krisis di wilayah tersebut melalui jalur diplomatik. Dan hari Sabtu ini Rice sudah akan berada kembali di Timur Tengah. Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, yang juga hadir dalam acara jumpa pers di Gedung Putih bersama George W. Bush mengumumkan, hari Senin depan akan digelar pertemuan di markas besar Perserikatan Bangsa Bangsa di New York untuk mencapai suatu resolusi guna mengakhiri krisis yang terjadi di Lebanon Selatan dua pekan terakhir ini. Dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB nanti juga akan membahas tentang rencana pengiriman pasukan multinasional (stabilization force) ke wilayah tersebut. Bush dan Blair menegaskan keinginan mereka agar pasukan multinasional tersebut dikirim sesegera mungkin ke Timur Tengah. Sikap Amerika dan Inggris dalam menangani konflik di Timur Tengah telah menuai banyak kritik. Terutama lambatnya kedua negara adidaya tersebut dalam mengambil tindakan konkret mengkhiri gencatan senjata di wilayah Lebanon Selatan yang telah menewaskan lebih dari 400 jiwa yang sebagian besar adalah penduduk sipil di Libanon. Rencana pengiriman pasukan ke Timur Tengah ini pun baru diumumkan di hari ke-17 setelah gencatan senjata di Libanon terjadi. Lambatnya AS dan sekutunya bereaksi diartikan oleh Israel sebagai lampu hijau untuk melanjutkan serangan militernya ke wilayah Libanon Selatan. PM Inggris, Tony Blair terbang ke Washington DC, dalam upaya mencari pemecahan terhadap krisis di Timur Tengah, setelah perundingan perdamaian di Roma, Itali hari Rabu lalu gagal mencari jalan keluar terhadap konflik di Libanon.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006