Selain Lebaran, 'megibung' biasa kami gelar pada saat Mauludan yang orang-orang sini menyebutnya 'ngusaba'."

Denpasar (ANTARA News) - Tiada hari tanpa ritual, tiada tradisi tanpa budaya. Ritus yang terjalin berkelindan dengan kultur telah melekat sebagai identitas agung masyarakat Bali.

Pulau Dewata bukan hanya sebagai tempat yang nyaman untuk berpelesir sebagaimana orang sering kali memelesetkan BALI dengan istilah "BAnyak LIbur".

Tapi, bagi Bali bisa jadi plesetan itu benar adanya karena memang hari libur di provinsi tersebut lebih banyak dibandingkan dengan daerah-daerah lain di pelosok Nusantara.

Daerah-daerah lain hanya punya hari libur nasional dan cuti bersama yang seluruhnya berjumlah 17 hari sebagaimana Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 5 Tahun 2012 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013.

Di Bali, selain libur sesuai dengan SKB Tiga Menteri itu, masih memiliki 21 hari libur fakultatif sepanjang 2013 berkaitan dengan ritual agama Hindu yang ditetapkan melalui Surat Edaran Gubernur Bali tertanggal 10 Oktober 2012.

Instansi pemerintahan dan sekolah diliburkan pada hari-hari yang ditetapkan dalam SE Gubernur Bali. Kalau dijumlahkan antara hari libur nasional, cuti bersama, dan libur fakultatif, maka jumlah hari libur di Bali selain hari Minggu sebanyak 38 hari.

Namun, masyarakat Bali yang mayoritas memeluk agama Hindu tidak serta-merta menjadikan hari libur itu untuk bertamasya (melali). Mereka memanfaatkannya untuk bersembahyang (piodalan) atau berbagai ritual lainnya pada hari-hari suci, baik yang ditetapkan melalui Surat Edaran Gubernur Bali maupun tradisi yang berlaku turun temurun di desa/dusun adat.

Agama dan budaya terbangun secara kohesif dan inheren telah menjadi ruh bagi kehidupan masyarakat Bali, apa pun agamanya. Bahkan, umat Islam sebagai krama tamiu tanpa sungkan-sungkan mengadopsi beragam ritual umat Hindu.

Hal itu bukan bermakna konotatif, karena umat Islam di Bali sebagai kaum urban mampu menjunjung tinggi kearifan budaya lokal. Di lain pihak, umat Hindu sebagai krama Bali juga apresiatif terhadap adopsi budaya umat Islam.

Tengok saja tradisi ngejot saat Lebaran di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Tradisi itu diadopsi oleh umat Islam di perkampungan Muslim tersebut dari akar budaya umat Hindu.

"Ini budaya nenek moyang. Jika hari besar Islam, maka umat Hindu yang ngejot, sedangkan pada hari-hari raya umat Hindu, kami-kami yang Muslim ini yang ngejot," kata H Bisri sebagai tokoh masyarakat perkampungan muslim Pegayaman, Kamis (8/8).

Ngejot adalah tradisi mengantar makanan kepada kerabat. Di Jawa tradisi itu biasa disebut dengan ater-ater atau masyarakat Betawi, Jakarta, menyebutnya anter-anter.

Masyarakat Pegayaman yang beragama Hindu mendapat berkah ngejot dari kerabatnya yang Muslim pada saat Lebaran, Maulid Nabi, atau Idul Adha. Sebaliknya, Umat Islam menerima ngejot berupa limpahan makanan halal di hari raya keagamaan Hindu.

"Masyarakat sini hidup rukun, meskipun beda keyakinan," tutur Bisri. Ia menggambarkan harmonisasi Hindu-Muslim di wilayah Bali utara itu.

Selain ngejot, umat Islam di Bali juga memiliki tradisi megibung atau makan bersama-sama dalam satu tempat di waktu tertentu.

Komunitas Muslim di Kepaon, Kota Denpasar, telah menjadikan megibung sebagai ritual rutin setiap tanggal 10 Ramadhan. Pada hari kesepuluh bulan puasa, umat Islam berkumpul di Masjid Al Muhajirin, Kepaon, untuk buka bersama dengan menu utama nasi tumpeng lengkap dengan daging ayam cincang.

Daging ayam cincang buatan masyarakat Muslim itu dibumbui kedonteng yang merupakan racikan dari rempah-rempah lengkap sebagai penyedap utama sajian khas pada Hari Raya Galungan dan Kuningan.

Masyarakat memberi rempah-rempah itu terdiri dari cabai, bawang merah, bawang putih, lengkuas, kencur, kunyit, jahe, kemiri, ketumbar, kapulaga, jeruk, dan kelapa.

Sebelum memulai buka puasa, warga di Kepaon itu disuguhi minuman "brungkul" yang berbahan dasar santan, gula pasir, tepung tapioka, dan cengkih.

Para ibu rumah tangga di lingkungan Kepaon Kaja, Kepaon Tengah, dan Kepaon Kelod yang mengerjakan santapan tersebut.

"Dalam bahasa Bali megibung atau mepatung berarti makan bersama dalam satu wadah. Makanya, kami menyebut tradisi tersebut adalah megibung yang merupakan warisan leluhur untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga," kata H. Ishak Ibrahim selaku takmir masjid Al Muhajirin di sela-sela acara megibung, Jumat, 19 Juli 2013.

Megibung diperkirakan mentradisi sejak ajaran Islam merambah Kepaon pada 1362 Hijriah. Saat itu Kepaon masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pemecutan.

Bagi masyarakat Kepaon budaya megibung mereka berbeda dengan di Kampung Sindu Punia, Kabupaten Karangasem. Komunitas muslim di lereng Bukit Punia itu megibung di teras masjid selepas Shalat Idul Fitri.

Kaum muslimat di kampung itu yang menyajikan sagi berisi nasi dan lauk-pauk, buah-buahan, dan jajanan pasar.

Masyarakat menyajikan masakan khas Bali yang identik dengan daging cincang atau lawar, satai plecing, pepes ikan, kacang, dan urap-urap. Bedanya, ibu-ibu komunitas muslim Kampung Sindu Punia menyajikan lawar yang disajikan berasal dari daging ayam.

Umat Hindu Bali biasanya melengkapi sajian lawar khas terbuat dari daging babi.

Sagi itulah yang kemudian dimakan beramai-ramai di teras Masjid Attaqwa seusai Shalat Idul Fitri, dan sebagai makanan penutup disuguhkan pula dodol dan jaje uli.

"Warga kami di sini terikat dalam satu kekerabatan antara yang Islam dan Hindu. Bahkan di antara warga kami ada yang berbeda keyakinan, tapi masih sedarah," kata H Suemi selaku Kepala Kampung Sindu Punia.

Masjid Attaqwa didirikan di lahan hibah dari Raja Karangasemdi masa lalu.

"Selain Lebaran, megibung biasa kami gelar pada saat Mauludan yang orang-orang sini menyebutnya ngusaba," ujarnya.

Pada saat Mauludan, komunitas Muslim di Kampung Sindu Punia melakukan tradisi potong rambut.

"Dahulu kala mereka juga potong gigi seperti tradisi metatah bagi umat Hindu di Bali, namun sekarang sudah tidak lagi," ujarnya.

Menurut Suemi, warga Kampung Sindu Punia yang Muslim dulunya juga menyandang nama depan Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut, seperti umat Hindu di Bali pada umumnya untuk menandai anak pertama, kedua, dan seterusnya.

Kampung Punia sudah ada sejak 600 tahun silam dan penduduknya memilik makam sesepuh mereka, Datuk Nurudin.

Datuk Nurudin itulah yang pertama kali menyebarkan ajaran Islam di Pulau Dewata bagian timur itu. "Makam itu selalu ramai penziarah pada hari Jumat," tutur Suemi.

Akulturasi Hindu-Islam di Bali tidak sebatas pada ritual dan tradisi. Bahkan, mereka budayanya kini sudah merambah pada model bangunan rumah ibadah. Tidak sedikit bangunan masjid di Bali yang berbentuk limas layaknya candi.

Selain itu, banyak pula masjid di Bali yang menyatu dengan bangunan pura, seperti di Kuta Permai, Kabupaten Badung, dan Buluh Indah, Kota Denpasar, serta Pura Langgar di Kabupaten Bangli.

Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013